Merayakan Kabut
Merasa berbeda sejak kecil, mungkin sudah jadi bawaan—yang lagi-lagi dilegitimasi oleh orang-orang terdekat. Apalagi dirayakan oleh hal paling administratif dalam hidup: punya nama Foggy, yang tercatat resmi di akte kelahiran. Bukan nama panggilan. Bukan nama pena. Nama resmi yang kemudian dipanggil dan dicatat oleh dokter, bank, sekolah, hingga lembar ijazah. Anak lain diberi nama yang puitis, saya diberi nama fenomena alam. Tidak sophisticated, seperti senja, pelangi, embun atau langit. Cukup ekstrim, karena fenomena alam saya berupa KABUT. Di sekolah dasar, saya sudah terbiasa mendengar mereka mengulang nama saya, setiap kali absensi dibacakan. Guru mengulang beberapa kali, bahkan di antaranya ada yang membuatnya jadi candaan. “Foggy… guk… guk… guk…” Nama itu kemudian jadi semacam latihan detoks pertama saya, dari keinginan jadi seragam. Menerima bahwa perbedaan saya bukan sesuatu yang akan terjadi nanti setelah dewasa atau setelah punya pacar, tetapi sesuatu yang sudah ...