Merayakan Kabut
Merasa berbeda sejak kecil, mungkin sudah jadi bawaan—yang lagi-lagi dilegitimasi oleh orang-orang terdekat. Apalagi dirayakan oleh hal paling administratif dalam hidup: punya nama Foggy, yang tercatat resmi di akte kelahiran. Bukan nama panggilan. Bukan nama pena. Nama resmi yang kemudian dipanggil dan dicatat oleh dokter, bank, sekolah, hingga lembar ijazah.
Anak lain diberi nama yang puitis, saya diberi nama fenomena alam. Tidak sophisticated, seperti senja, pelangi, embun atau langit. Cukup ekstrim, karena fenomena alam saya berupa KABUT.
Di sekolah dasar, saya sudah terbiasa mendengar mereka mengulang nama saya, setiap kali absensi dibacakan. Guru mengulang beberapa kali, bahkan di antaranya ada yang membuatnya jadi candaan. “Foggy… guk… guk… guk…”
Nama itu kemudian jadi semacam latihan detoks pertama saya, dari keinginan jadi seragam. Menerima bahwa perbedaan saya bukan sesuatu yang akan terjadi nanti setelah dewasa atau setelah punya pacar, tetapi sesuatu yang sudah sah sejak lahir.
Hal berbeda lain yang harus diterima, karena saya nyaris selalu membawa buku tulis di tas. Buku kosong yang pasti habis saya coret-coret. Saya menulis cerita sejak baru bisa menulis. Isinya berupa percakapan, potongan adegan, daftar pertanyaan yang tidak berani saya tanyakan pada orang-orang dewasa, cerita-cerita yang berkelindan di kepala, tetapi terlalu takut saya bicarakan sama orang lain.
Dan itu adalah hal paling konsisten yang saya lakukan, menulis puisi tentang cuaca setiap hari. Hujan, mendung, pagi yang hangat, semilir angin yang membelai tengkuk di jam pulang sekolah, yang mengembus dari jendela angkot. Setiap hari, tanpa alasan dramatis. Saya tidak sedang sedih, tidak sedang menjadi sok filosofis. Saya hanya menikmati perubahan yang terus terjadi, sementara saya sendiri belajar tidak berubah dalam satu hal: berusaha terus menulis.
Teman sebangku pernah bertanya, kenapa saya sering banget menulis langit, awan dan mendung. Saya tidak punya jawaban keren untuk memuaskan siapapun yang kepo. Saya hanya bilang saya suka. Anak lain menggambar matahari tersenyum, saya menggambar mendung lalu menambahkan puisi di bawahnya. Bukan mencoba sok keren, atau melawan arus utama, hanya mengurai sesuatu di kepala yang terus menggedor-gedor batin, keinginan untuk terus menulis.
Belakangan saya paham: orang mengira anak yang menulis cuaca harian itu suasana hatinya sering kacau, padahal saya justru sedang membangun keteraturan pertama saya sejak dini. Saya menulis cuaca untuk melatih diri menerima bahwa besok pasti beda dengan hari ini.
Nama Foggy di akte tidak membuat saya jadi ahli BMKG. Bahkan kuliah sains dan ilmu alam pun tidak.
Menjadi Foggy, membuat saya belajar lebih cepat dari siapa pun di kelas saya bahwa identitas tak selalu bisa dipilih, tetapi diterima, dijalankan, lalu dinikmati penuh tangung jawab.
Menjadi lain dari arus utama sejak kecil, bukan karena ingin menarik perhatian. Semata-mata karena memilih tidak generik. Menulis bukan saja ekspresi luar biasa. Itu kebiasaan reguler yang dilakukan dengan semacam kesetiaan, yang pada waktu itu seringkali membingungkan orang-orang dewasa. Itulah sesuatu yang membentuk hidup kita, seringnya bukan pencapaian besar.
Sejak kecil, hal yang berbeda terasa seperti default pabrikan. Selera saya tidak datang dari pilihan-pilihan mainstream. Ketika teman-teman mulai memamerkan mainan yang sama, saya malah hobi mendengarkan sandiwara radio bersama Si Mbah di dapur. Mendengarkan Si Rawing, Wa Kepoh, Cepot dan Ijem, bahkan sampai Jayakarta Grup. Selera humor saya mendekati komedian di tubuh bocah perempuan.
Percakapan saya dengan dunia, terjadi tidak intuitif. Saya lebih sering mengamati daripada ikut terjun ke dalam pergaulan sosial. Saya memandangi detail-detail yang biasanya dilupakan orang dewasa: bentuk di tembok kamar yang seperti bebek tapi punya cula badak, pola hujan di langit dekat batang pohon petai, atau cara tukang gorengan sebelah rumah memandangi pelanggannya satu persatu dengan matanya yang juling.
Perbedaan itu bukan drama besar kehidupan, melainkan serangkaian adegan kecil yang konsisten. Anak yang berbeda biasanya diberi label macam-macam, saya lebih sering dibilang pemurung dan cengeng karena amat sangat mellow dan mudah kasihan. Saya nyaman melihat peristiwa dari jarak aman, duduk sendirian. Dari sana, dunia terlihat jujur: orang yang pura-pura berani akhirnya tampak gugup, orang yang sok tahu akhirnya tampak ragu, dan orang yang dipanggil “biasa saja” ternyata memendam keunikan masing-masing yang biasanya malah jadi kawan sejati.
Saya punya dialek batin yang tak semua orang paham. Saya sering dianggap sulit, padahal saya hanya memproses hal sederhana dengan cara yang panjang dan dibilang ribet. Dari kursi belakang tempat saya mengamati, saya belajar bahwa orang yang berbeda tidak selalu terlihat mencolok. Kadang justru orang berbeda adalah mereka yang lebih senang mencatat, berpikir, atau menimbang rasa sebelum menimbang logika.
Orang berbeda adalah anak yang solatnya buyar karena menghitung titik-titik di sajadahnya, atau malah sibuk menebak siapa yang barusan mengumandangkan iqamah ketimbang menghapal doa iftitah.
Hari ini saya merayakan menjadi kabut, karena ternyata betul kata orang: memberi anak nama adalah manifestasi doa. Saya tidak sedang menyalahkan mama dan papa, meski ternyata saya sering menderita brain fog setelah dewasa.
Keunikan tidak selalu harus dijelaskan dengan gamblang dan alasan logis, seringnya ia hanya perlu dijalankan sampai orang berhenti bertanya lagi dan menerima perbedaan sebagai bagian dari diri seseorang.
Halo, nama saya Foggy. Dan sudahlah, jangan sampai saya mengulang nama saya lagi.
Comments
Post a Comment