Tidak Semua Orang Dianugerahi Keajegan Berpikir. Karena Menjadi Pengendali Hari ini Pun Sudah Cukup

Mungkin kamu belum pernah merasakan bagaimana rasanya tetap berpikir waras, yang kapan saja bisa luruh sedikit demi sedikit, setiap kali cobaan hidup datang dari arah yang tak disangka-sangka, tanpa aba-aba. Bisnis bangkrut, teman-teman bisnis berkhianat, bahkan diagnosa dokter terasa ‘ngeri-ngeri sedap’. 

Mungkin kamu belum tahu rasanya bangun pagi bertanya-tanya, apakah hari ini akan kebas lagi atau diserang panik? Apakah hari ini kecemasan akan membunuh keinginan untuk tetap hidup? Apakah bentuk cobaan hari ini? 

Karena memang kalau tidak bangun, tagihan utang di masa lalu tidak akan berhenti, orang tua menanyakan kapan transfer, dan rekening kesehatan pun semakin membengkak, belum lagi aset yang mulai hilang satu per satu. Dan dalam kekacauan seperti itu, stoikisme bukan lagi teori. Ia adalah pelampung terakhir.

Apa yang bisa dilakukan ketika hidup tidak memberi waktu jeda buat sekadar mengambil napas? Ketika setiap detik adalah pengingat bahwa kamu tertinggal, terlilit, terjepit? Menjerit protes memang terasa melegakan, tapi juga membuat suara kita habis dan energi waras terkikis. Maka banyak orang memilih diam. Tapi itu bukan diam menyerah, melainkan diam bertahan. Diam yang di dalamnya terdapat energi mengokang, untuk tak selalu menyalahkan keadaan, tapi menyusun strategi untuk bertahan. Diam adalah benteng terakhir agar kepala tidak pecah, dan agar batin tidak tumbang.

Bagi sebagian orang, belajar stoik bukan cuma pilihan gaya hidup. Bukan pula bentuk pencerahan spiritual. Tapi satu-satunya cara agar tidak kehilangan akal sehat, saat dunia kembali membusungkan dada, mengambil pikiran warasmu yang tinggal satu-satunya, dunia yang sulit sekali untuk dilawan. Ketika semua yang di luar tak bisa dikendalikan: utang, bisnis boncos, orang-orang terdekat meninggal satu demi satu, kabar buruk dari dokter yang membuatmu merasa tercekik, maka memegang kendali atas pikiran adalah satu-satunya bentuk kekuasaan yang masih bisa dipertahankan. Karena kamu mungkin belum pernah tahu betapa berharganya rasionalitas (baca: kewarasan), sampai kamu nyaris kehilangannya.

Dan karena tak semua penderita depresi bisa terus melawan dengan pikiran jernih, maka stoikisme tidak bisa dilihat sebagai kekuatan super. Kadang, menjadi stoik hanya berarti tidak menyalahkan diri sendiri hari ini, atau mencoba mengakhiri hidup. Mungkin itu satu-satunya cara, agar kamu berhasil bangun dari tempat tidur. Untuk cukup waras tidak memaki orang lain di rumah, dan menghancurkan barang-barang. Itu bukan kelemahan, itu ketahanan dalam bentuk paling murni.

Stoikisme bukan soal pasrah, kok. Tapi tentang mengucapkan, “Aku tahu aku tidak bisa mengubah semuanya, tapi aku juga tidak akan dihancurkan semuanya.” Ini bukan tentang menyerah. Ini tentang bertahan dengan kepala tegak, meski harus mengumpulkan sisa-sisa jiwa yang hancur.

Epictetus memang lahir sebagai budak, dan justru karena itu ia tahu: kendali atas batin adalah bentuk kebebasan yang dipupuknya sejak awal. Tapi kita juga tahu, tidak semua orang punya ruang untuk berpikir. Dan karena itu, stoikisme bukan tentang siapa paling kuat. Tapi siapa yang bisa tetap bernapas di tengah banyaknya cobaan, meski dengan tagihan dokter dan diagnosa yang bikin kamu merasa orang paling “tidak waras”.

Kita tak selalu bisa “fight back”, tidak semua diberi privilese untuk melawan saat itu juga. Taruhlah mereka penyintas trauma, juga mereka yang dihimpit oleh beban-beban mimpi buruk setiap malam. Tak semua bisa turun ke jalan, atau protes ngambek menyalahkan filosofi kehidupan. Tapi bahkan dalam kesepian dan diam, kita bisa memilih untuk tidak hancur. Untuk tetap sadar. Untuk tetap menjadi manusia yang secara sadar memiliki saat ini.

Memang kadang marah itu perlu, tapi ada pula saat di mana yang paling radikal adalah duduk diam, menenangkan diri, dan berkata dalam hati: “Aku belum kalah.” Itu bukan kekalahan. Itu bentuk keberanian yang tidak harus selalu viral, tidak ditulis media besar karena protes dengan suara keras, tapi menyelamatkan hidup hari demi hari. Menyelamatkan otakmu yang selalu menavigasi ke arah keputusasaan.

Stoikisme bukan solusi untuk segala luka, tapi ia bisa jadi tenda kecil tempat kamu berteduh di tengah badai. Dan kalau hari ini kamu bisa tidur lima menit tanpa pikiran menghunus lehermu sendiri, itu bukan hal kecil. Itu kemenangan. Itu kamu, yang untuk pertama kalinya, memegang kendali atas kewarasanmu, sekalipun dunia tak pernah memberimu izin untuk memilikinya. Dan jika kamu merasa marah karena banyak hal direnggut dari kehidupanmu, ini saya… bicara karena banyak hal pun direnggut dari kehidupan saya, termasuk kewarasan. Dan memilih diam dan merasakan hari ini untuk bertahan, lanjur melanjutkan perjalanan hidup, adalah bagian dari bertahan.




Comments

Popular posts from this blog

Si Kepik dan Separuh Sayapnya yang Patah

Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori