Jokpin dan Kloset
Semuanya berawal dari keputusan suci untuk mendonlot aplikasi Al-Qur’an, kemarin. Sebuah aplikasi ringan, cuma 17 MB, tapi dengan konsekuensi berat: saya nggak bisa lagi dengan enteng membawa HP ke dalam WC. Ada semacam rasa bersalah yang diam-diam hadir, membayangkan membawa kitab suci untuk buang air besar. Sekonyong-konyong, perenungan di atas kloset pun perlu diajari adab.
Maka saya beralih pada medium analog: buku untuk dibawa ke toilet, menemani perenungan sambil melakukan serangkaian seremoni kakus. Dan dari semua buku, yang terpilih adalah kumpulan puisi Joko Pinurbo. Pilihan ini bukan karena Joko Pinurbo pernah menulis tentang toilet. Bukan semata-mata karena puisinya sering membaurkan ruang tubuh dan spiritualitas dengan begitu cair. Tapi karena, jujur saja, buang air adalah momen paling personal dalam hidup kita yang terjadwal tapi tidak terprediksi. Dan dalam keheningan itulah, Jokpin menjelma menjadi sesuatu yang teramat personal.
Saya malah jadi teringat sama Sartre, yang pasti akan protes, “Apakah feses pun punya esensi sebelum eksistensinya?”
Akhirnya saya berpikir sambil duduk di atas kloset, menggenggam puisi sambil menggugurkan sisa makanan semalam, bertanya-tanya: mengapa kita butuh arti dalam hidup?
Ada keintiman tertentu yang hanya dimiliki antara manusia dan momen di atas kakus. Sejenis ruang hening, tempat tubuh dan pikiran bersih bersama-sama. Aplikasi Quran, dengan segala keagungannya, seakan terlalu tinggi untuk dibawa ke ruang itu. Tapi puisi—ah, puisi Jokpin, tentunya, turut menyelami liminalitas itu: antara yang kotor dan yang suci, yang profan dan yang poetik.
Membaca Jokpin saat momen pembersihan bukan sekadar aktivitas literer. Itu ritual. Bahkan bisa dibilang, bentuk tafakur paling esensial. Di ruang itu, kita tidak bisa pura-pura. Tidak ada status sosial, tidak ada performa publik. Hanya ada tubuh, suara krucuk-krucuk dalam perut, dan bait-bait absurd tentang hidup dalam kesatiran.
Di sinilah letak paradoksnya: kita hidup di zaman di mana HP jadi ekstensi otak dan jiwa kita. Tapi saat HP kita isi dengan hal-hal suci, kita justru kehilangan kebebasan untuk menggunakannya sembarangan. Maka kita kembali ke buku, ke halaman-halaman yang aman dibawa, dan tidak punya notifikasi. Lalu puisi Jokpin, adalah sesuatu yang mungkin lebih jujur.
Toilet, pada akhirnya, bukan tempat hina. Ia adalah altar pribadi. Dan di altar itu, saya memilih membaca Jokpin, bukan karena dia profan, tapi justru karena dia paham: bahkan dalam keluarnya kotoran, ada keheningan yang layak direnungi.
Comments
Post a Comment