Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori

Saya tumbuh dari seorang Papa, ia tidak membaca literatur feminisme atau pemberdayaan perempuan whatsoever, tidak juga mengutip Simone de Beauvoir di dinding seperti kamar saya, atau beli buku bell hooks, atau baca Fatima Mernissi, apalagi mengikuti perdebatan soal bias gender di forum-forum dialektik. Namun, ia menanamkan pada saya satu hal yang jauh lebih membekas, yaitu keberanian jadi manusia berdikari, let's say it… being a lonewolf. Dari kecil, ia mendorong saya untuk bertanya, menantang jawaban, dan melihat dunia dari berbagai sudut. Ia mengoleh-olehi buku-buku, majalah elektro dan komputer (meski ini agak aneh untuk ukuran gadis kecil), komik wayang, novel sains, dan yang paling luar biasa musik-musik dunia yang ajaib untuk telinga saya saat itu. Ia mengajak berdiskusi di meja makan, meski topiknya terlalu “serius” untuk ukuran bocah perempuan.

Bagi Papa, saya adalah manusia sebelum saya adalah perempuan. Dan dari situ, tanpa sadar, ia membesarkan saya menjadi seseorang yang percaya bahwa pikiran itu milik pribadi dan harus dijaga, diasah, serta dijalankan dengan tanggung jawab.

Tapi hidup selalu punya cara menghadirkan pedih yang tidak kita minta. Papa meninggal ketika saya sedang jauh dari rumah. Saat hidup saya terpusat pada urusan rumah tangga, dengan membesarkan putri-putri saya sendiri. Jarak fisik menjadi jarak emosional yang membuat saya terluka, karena saya tidak berada di sisinya pada detik-detik terakhir. Kepergiannya seperti memotong seutas benang halus yang sejak kecil menuntun saya melihat dunia.

Lalu, secara tak terduga, kasih sayang seorang Bapak kembali hadir, dari sosok yang berbeda. Bapak mertua saya. Dunia yang membentuk saya yang menikah di usia muda pun berbeda, ia orang yang konservatif, seorang guru besar tata negara, laki-laki yang memegang teguh nilai-nilai lama. Tapi di balik itu, ia percaya bahwa pendidikan adalah hak semua manusia. Baginya, gelar dan ilmu tidak mengenal jenis kelamin. Dalam banyak percakapan kami, ia menegaskan bahwa perempuan seharusnya tidak berhenti belajar hanya karena status pernikahan.

Momen yang paling membekas bagi saya, terjadi di rumah sakit. Saya menemaninya dalam masa-masa sakit, menemaninya fisioterapi, membantunya makan, membantunya minum obat, mendengarkan ceritanya yang kadang meloncat-loncat di antara banyak kenangan dan rasa nyeri di tubuhnya. 

Di sela itu, ia memandang saya cukup lama dan matanya seperti melayang kemana, “Nulis nya, Fog. Hidupi mimpi. Getol baca buku. Jangan berhenti, cuma karena dunia tidak mengakui.”

Kalimat itu membekas, dan sampai sekarang masih membuat saya menangis. Saya cuma bisa mengangguk, meski sulit untuk berjanji. Hidup seakan-akan menghadirkan dua dunia yang berbeda—progresif dan konservatif—bertemu di satu titik hidup, sebagai seorang “Bapak”-nya Foggy. Keduanya, dua bapak ini, mengajarkan bahwa hidup tidak diukur dari pengakuan orang lain.

Beberapa bulan lalu, bapak mertua pun pergi. Patah hati saya bertambah lagi, sakit tak terperi. Kehilangan kedua bapak ini, dengan segala perbedaan pandangan mereka, seperti kehilangan dua sayap yang membuat saya sanggup terbang menantang kehidupan. Namun, justru di sinilah saya menyadari bahwa kasih sayang mereka, meski datang dari arah yang berbeda, mendorong saya ke tujuan yang sama, yaitu menjadi manusia utuh yang tidak tunduk pada penilaian sempit dunia.

Kini, setiap kali saya menulis, saya membayangkan mereka berdua duduk di meja di depan saya—satu dengan cangkir coffee mix, satu lagi dengan kopi hitam—sambil mengangguk dan mengobrol, memberi ruang pada saya untuk berbicara lewat diksi dan dongeng yang saya ciptakan. Dan saya tahu, sejauh apapun jarak antara mereka di masa hidup, kasih sayang mereka pada akhirnya bertemu di dalam diri saya, dalam pikiran, dalam setiap pilihan bijak yang saya ambil.

Belakangan ini, saya meriset sesuatu, tanpa orang tahu, yang dalam dunia neurologi disebut sinestesia leksikal gustatori. Sebuah fenomena ganjil ketika kenangan mengaktifkan indera pengecap. Dua kali dalam hidup, berita kematian membuat lidah saya seketika dipenuhi rasa pahit seperti karat, seperti buah mengkudu yang kalau digigit, rasanya pahit luar biasa. Pahit itu datang dalam waktu berbeda, yaitu persis kabar kepergian mereka.

Pahit ketiga kalinya pun hadir tak terperi, tanpa saya duga. Ia tidak memberi prediksi, kali ini bukan berupa kabar kematian, tapi menghantam lebih dalam dari kehilangan apapun yang pernah saya alami. Trauma itu menempatkan saya dalam mode bertahan hidup, menjadi seorang survivor, dan kamu tidak perlu tahu apa.


Comments

Popular posts from this blog

Tidak Semua Orang Dianugerahi Keajegan Berpikir. Karena Menjadi Pengendali Hari ini Pun Sudah Cukup

Si Kepik dan Separuh Sayapnya yang Patah