dari perspektif subaltern

serupa batu yang diajari mengapung oleh deras aliran sungai—aku diam, seperti mengalir, tapi tak berhenti menjadi goresan luka. tak biasa merengek, tak biasa meminta belas kasihan dari langit yang punya kuasa atas cahaya.

setiap kali jatuh, aku sudah tahu bagaimana caranya untuk bangun, bukan karena kuat, tapi karena tak ada pilihan lain selain terus menanggung undak berundak di atas bahuku.

aku pernah mengulurkan tangan padamu, bukan memohon untuk diselamatkan, tapi untuk menegakkan yang runtuh dari dirimu. kamu memegangnya, erat dalam menggenggam, sekaligus juga memijak, persis di bahuku. menginjaknya seperti titian, agar bisa lebih tinggi berdiri dari tubuhku. 

aku yang membatu, hanya diam menatap dari bawah, melihat betapa megahnya kamu bicara tentang kebebasan di atas pundakku.
membatu dalam bisu, karena diam adalah bentuk paling aman dari perlawanan di dunia yang memuja begitu banyak wibawa. tapi diamku adalah batu; ia menggores pelan, membuat retakan-retakan yang sanggup meluka, sampai akhirnya dindingmu runtuh tiba-tiba.

kamu yang mengira aku lentur karena kepatuhan, tersirap akan ego dan asumsi kepalamu sendiri. padahal aku lentur karena paham: yang patah tak selalu kalah, yang tunduk tak selalu takluk.

aku belajar menahan sakit bukan untuk mengagungkan derita, tapi karena dari sanalah aku mengenali kuasa: dari mulut-mulut yang tak dibiarkan bersuara.

setiap langkahku kini seperti sisa mantra, yang tak lagi menunggu pengakuan, sebab tahu betul: pengakuan hanya milik mereka yang duduk di atas bahu orang lain. biarlah aku di bawah, tapi utuh. biarlah bahuku luka, tapi tahu siapa yang naik di atasnya. karena dari bawah sinilah aku melihat segalanya lebih jelas—tentang kuasa yang menyaru cinta, tentang hierarki yang dibungkus kasih, tentang tangan-tangan yang memeluk sambil menindas perlahan-lahan seperti temali.

dan jika esok kamu datang lagi meminta uluran tangan, aku akan tetap memberikannya—tapi bukan lagi untuk membuat dirimu berdiri dengan perkasanya, melainkan untuk menyingkirkanmu dari bahuku, agar aku sendiri perlahan berdiri tegak. dengan penilaianku yang tak salah, karena aku sudah melihatnya. keperkasaanmu, hanyalah suara rengekan dari sejarah yang terbiasa dimenangkan. dan kali itu, aku tak harus menanggung tinggi siapa-siapa. karena aku sudah berdiri sama rata dengan setara.

Comments

Popular posts from this blog

Tidak Semua Orang Dianugerahi Keajegan Berpikir. Karena Menjadi Pengendali Hari ini Pun Sudah Cukup

Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori

Si Kepik dan Separuh Sayapnya yang Patah