Mimpi Paling Eksistensialis

Ada kalanya duka cita rasanya begitu dekat sekali, air mata seperti hujan di atas ubun-ubun. Menangis itu bukan soal perkara patah hati semata, tapi karena tumpukan beban absurd kehidupan yang terus menampar tanpa peduli kita sedang memikirkan apa. Saat itu, hidup terasa seperti kehilangan manual, orang pintar mendadak bloon, bahkan tiap malam tiba-tiba mimpi Sartre, menghisap rokok Gauloises-nya sambil berbisik: "Hidup memang absurd, mon cherie. Kita ini cuma proyek gagal dari kebebasan yang tidak kita minta."

Sartre sialan, se-absurd apa coba sampai mimpi begitu! 

Di saat saya cuma ingin tenggelam dalam playlist lagu subkultur punk yang menghibur hati, Sartre malah datang mengganggu mimpi, membawa beban eksistensial yang bikin galau. Lantas, saya jadi bertanya: kenapa di saat sedih, justru malah filsafat yang menggedor nalar?

Tiba-tiba, suara Sartre bergema: "Keberadaan mendahului esensi." Apa maksudnya, Jean-Paul? Apakah ini berarti saya harus menciptakan makna hidup sendiri di tengah kekecewaan gara-gara manusia? Kalau iya, kenapa tidak ada tutorialnya?

Sartre memang brengsek sekaligus brilian. Dia datang dengan seluruh beban nalar eksistensialis yang membuat ruang di kepala makin berat, seolah kecewa karena manusia tak cukup. Kenapa tidak seperti manusia lain yang cukup minum kopi hitam di kafe sambil dengar tws musik lo-fi, saya malah terjebak memikirkan le nĂ©ant—kekosongan eksistensial.

Kadang, saya merasa Sartre adalah hantu intelektual yang terlalu betah mondok di kepala orang-orang galau. Dia menghantui, bukan dengan jump scare, tapi dengan infiltrasi filosofis yang bikin insomnia makin parah.

"Kamu bebas, tapi kamu juga terkutuk. Pilihan adalah kutukanmu," katanya sambil mengepulkan asap rokok.

Dan saya hanya bisa melongo, sambil cemetut dan sesekali menangis, mencoba memahami kenapa hidup harus serumit ini. 

Di tengah galau ini, saya sadar, mungkin kesedihan bukan hanya tentang dikecewakan orang terdekat, tapi juga tentang di mana kita meletakkan makna. Kalau kata Sartre, mungkin saya harus menciptakan makna sendiri, meskipun kadang saya hanya ingin menyerah dan tidur seharian sampai mata bengkak.

Tapi ya, begitulah. Di saat sedih, bahkan Sartre pun datang, membawa teori absurditas dan kebebasan yang membuat kepala cenat-cenut. Dan di akhir hari, saya cuma bisa berkata: Terima kasih, Sartre. Terima kasih sudah datang lewat mimpi, meskipun saya cuma ingin nonton drama Korea dan minum kopi tanpa merasa bersalah atas kebebasan manunggal. Terima kasih, bahkan dalam mimpi pun saya masih merasa eksistensialis.


Comments

Popular posts from this blog

Tidak Semua Orang Dianugerahi Keajegan Berpikir. Karena Menjadi Pengendali Hari ini Pun Sudah Cukup

Si Kepik dan Separuh Sayapnya yang Patah

Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori