Ada Kedamaian, Saat Mengucap 'Saya Tidak Peduli'


Pagi ini tenang sekali, setelah sarapan saya pun lanjur membuat kopi hitam. Saat dunia di luar sana belum sepenuhnya terjaga, saya membuka gawai dan menemukan tak ada satu pun notifikasi penting menyapa. Tak ada pesan baru, tak ada komentar yang perlu dibalas, tak ada undangan untuk merasa lebih penting dari secangkir kopi pahit yang menunggu untuk dinikmati. Lalu, seperti mantra yang berbisik pelan-pelan, setiap kali saya merasa ingin damai, bibir saya mengucap: "Saya tidak peduli."
Bukan dalam arti pongah atau apatis, bukan pula bentuk pengingkaran tanggung jawab sosial. Tapi lebih menyerupai damai dalam melepaskan sesuatu, seperti melepas seutas tali yang selama ini diam-diam mencekik. Di dunia yang terus berlomba mengejar validasi, kalimat “saya tidak peduli’ terasa menenangkan. Ia bukan tanda keputusasaan, melainkan sebentuk perlawanan terhadap kewajiban untuk selalu tampil, selalu menjadi bagian dari sorak-sorai dan gegap gempita kehidupan sosial.
Komunikasi, kata Jurgen Habermas, tak melulu soal menyampaikan pesan, tetapi juga tentang mengklaim validitas. Setiap kali kita berbicara, mengunggah, memberi opini, bahkan hanya dengan mengklik tanda suka—kita sedang membangun klaim tentang siapa kita, apa yang kita yakini, dan seberapa layak kita diterima. Maka tak heran jika platform digital menjelma jadi arena panoptikon baru, tempat kita terus-menerus mengawasi dan diawasi.
Filosof Perancis Michel Foucault menyebut ini sebagai regime of truth—rezim kebenaran yang tidak hanya memproduksi apa yang benar, tapi juga siapa yang berhak bicara dan didengar. Di bawah rezim ini, setiap ekspresi adalah transaksi, dan setiap keheningan bisa dibaca sebagai kegagalan tampil. Maka tak ada yang lebih radikal hari ini daripada diam. Dan lebih damai lagi saat saya mulai sering berbisik: “Saya tidak peduli.” Ketika orang lain terlalu banyak bicara dan mengatur performamu.
Sikap ini bukan pengunduran diri, melainkan semacam epoche, seperti yang diajarkan dalam filsafat fenomenologi. Husserl menyebutnya sebagai penangguhan penilaian. Dalam konteks hari ini, epoche bisa dimaknai sebagai keberanian untuk tidak selalu menanggapi, tidak selalu berkomentar, tidak selalu membuktikan sesuatu kepada dunia. Sebuah jeda dari keharusan untuk "ada" secara digital dan sosial.
Apa yang tersisa ketika kita berhenti peduli pada likes, views, dan opini orang lain? Mungkin yang tersisa adalah sesuatu yang lebih purba, lebih jujur—diri kita sendiri, dalam keadaan yang tak perlu ditampilkan. Dalam ruang batin itulah kedamaian tumbuh. Bukan karena semua sudah selesai, tapi karena kita tak lagi berlomba.
Di zaman ini, merdeka bukan hanya soal bebas bicara, tapi juga bebas untuk tidak mengatakan apa-apa. Dan dari kebebasan itu, muncul kemungkinan baru: bukan untuk mengasingkan diri, tapi untuk menyapa dunia dengan cara yang lebih tenang, lebih utuh, dan lebih tulus.
Maka hari ini, bila ada yang bertanya kamu sedang sibuk apa, apa saja yang sudah kamu capai hari ini. Saya akan menjawab dengan senyum damai: “Saya tidak peduli—dan saya sedang tidak mau ambil pusing.”
Karena pada akhirnya, mungkin yang paling manusiawi bukanlah terus-menerus ingin terlihat penting, melainkan belajar untuk menghilang dari radar, tanpa merasa kehilangan makna. Seperti bintang yang tetap bersinar bahkan ketika tak seorang pun melihatnya dari bumi. "Saya tidak peduli," bukanlah antitesis dari cinta atau kehadiran untuk orang-orang yang kita kasihin. Melainkan cara jiwa melindungi diri sendiri dari banjir kebisingan. Dan siapa tahu, justru dalam ketidakpedulian itulah, kita mulai benar-benar hadir, bukan sebagai avatar, bukan sebagai opini, tapi sebagai diri yang tidak lagi haus akan pembuktian.
Barangkali kedamaian sejati bukan ditemukan ketika dunia mengenali kita, melainkan ketika kita tak lagi perlu dikenali oleh dunia.


Comments

Popular posts from this blog

Tidak Semua Orang Dianugerahi Keajegan Berpikir. Karena Menjadi Pengendali Hari ini Pun Sudah Cukup

Si Kepik dan Separuh Sayapnya yang Patah

Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori