Belajar Mendengar

Saya mengobrol dengan seorang kawan, bukan di kafe, bukan pula di beranda rumah. Namun seperti kebanyakan percakapan belakangan ini, semua berlangsung di layar, lebih tepatnya lewat DM Instagram. Sederhana saja, kami saling menanggapi unggahan satu sama lain, lalu tiba-tiba percakapan itu melompat ke pertanyaan yang terasa menohok: “Zaman sekarang, semua orang pengen didengar. Tapi siapa yang benar-benar belajar mendengar?”

Kalimat itu membuat saya berpikir banyak. Mungkin karena terlalu sering kita merasa perlu menjawab, memberi pendapat, atau bahkan menasihati. Kita tumbuh dalam budaya yang memuji orang yang mampu berkata-kata, yang vokal, yang sigap merespons. Tapi jarang sekali kita diajak untuk duduk tenang, mendengar utuh, tanpa buru-buru menimpali.

Di era performatif seperti sekarang, kita nyaris dibentuk untuk selalu menanggapi sesuatu. Media sosial melatih kita untuk cepat bereaksi: dengan emoji, komentar, atau opini. Belum selesai membaca, kita sudah menyusun balasan. Belum sempat mencerna, kita sudah ingin terdengar cerdas. Saya jadi ingat sama kutipan Carl Gustav Jung:
“Thinking is difficult, that’s why most people judge.”

Berpikir memang tidak mudah, dan mendengar adalah bagian dari proses berpikir yang paling hening sekaligus paling berat. Karena untuk benar-benar mendengar, kita harus menunda penilaian. Kita harus hadir dan berada, tidak sebagai penasihat, tapi sebagai ruang yang memerdekakan orang untuk berbicara bebas.

Dan mungkin justru itu yang kita rindukan hari-hari ini: ruang untuk bicara tanpa langsung dibantah. Ruang untuk mengakui kegelisahan tanpa harus segera diberi solusi. 

Saya belajar untuk menyediakan fasilitas itu, meski sulit, karena arateul pengen segera menanggapi.
Dalam percakapan dengan seorang kawan tadi, kami juga sempat menyinggung soal dunia yang makin kompetitif. Di tempat kerja, di lingkungan pertemanan, bahkan dalam hubungan pribadi—kita dituntut untuk tahu apa yang harus dikatakan. Kita diajarkan cara berbicara yang meyakinkan, tapi kapan kita diajar cara mendengarkan tanpa menyela? Menurut saya, itupun sudah cukup.

Lagi-lagi Jung pernah bilang: “You cannot influence the world by trying to be like it.”

Mungkin benar, mendengar adalah salah satu bentuk perlawanan di tengah dunia yang terlalu sibuk kepengen bicara, paheula-heula. Kita tidak harus selalu punya jawaban. Tidak harus selalu mengomentari. Kadang, mendengar saja sudah cukup—karena di balik cerita orang lain, bisa jadi ada luka yang tidak ingin ia jelaskan dengan gamblang, ia cuma ingin diakui keberadaannya.

Saya tidak punya kesimpulan akhir dari percakapan kami tadi. Lalu, saya dan kawan itu mengakhirinya dengan emoji tawa dan satu dua kalimat ringan. Tapi setelah itu, saya jadi berpikir ulang: barangkali menjadi dewasa bukan soal seberapa banyak yang bisa kita katakan dengan kalimat-kalimat cerdas, tapi seberapa lama dan dalam kita bisa mendengarkan problem orang lain.

Dan hari ini, lewat percakapan singkat di ruang digital, saya belajar satu hal kecil yang terasa besar untuk nurani saya: bahwa diam, jika disertai perhatian, bisa lebih menyembuhkan daripada seribu kata cerdas dan nasihat cergas. Ini berlangsung di ruang digital, apalagi kalau bertatap langsung. Kamu bisa menatap matanya, kamu bisa mengangguk memberikan apresiasi, bahkan kamu bisa kasih senyum pemahaman. Bayangkan, seberapa besar kamu punya pengaruh untuk ‘menyembuhkan’.


Comments

Popular posts from this blog

Tidak Semua Orang Dianugerahi Keajegan Berpikir. Karena Menjadi Pengendali Hari ini Pun Sudah Cukup

Si Kepik dan Separuh Sayapnya yang Patah

Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori