Dalam Waktu yang Melengkung, Ada Ruang yang Menyempit.


Saya pernah melamun waktu remaja dulu, sambil memandangi awan dari dalam tenda doom di kebun Mama, berpikir bahwa: jika ruang memuai, maka waktu pun memuai. Jika ruang menyempit, waktu ikut mengerut. Kenapa saat senang selalu merasa waktu berjalan lebih cepat?
Pikiran remeh yang saya lontarkan di masa lalu itu kini terasa seperti teka-teki yang kembali saya punguti hari ini, kamu tahu kan semuanya dari teori relativitas Einstein, namun pikiran absurd saya tak punya rumus. Waktu dan ruang—dua konsep yang kerap kita anggap abstrak—ternyata tak pernah benar-benar terpisah. Mereka bukan dua entitas, tapi satu jaringan, anyaman yang tak bisa dicabut benangnya tanpa merobek keseluruhan jalinannya.
Ketika kita berada di ruang yang luas, terbuka, pegunungan, atau lautan, waktu serasa lambat. Ia meregang, memberi napas panjang, seperti meditasi yang saya pelajari dari seorang penulis bernama Elnov. Tapi ketika kita terjebak di lift sempit, kamar kos tanpa jendela, atau rutinitas yang monoton, waktu seperti memadat, mengecil, dan menghimpit hingga kadang dada sampai terasa megap-megap (lebay).
Mungkin itulah sebabnya orang-orang yang hidup di kota-kota besar sering merasa “tak punya waktu.” Padahal, waktu tetap dua puluh empat jam. Tapi ruang di sekeliling mereka telah menyempit oleh dinding beton, layar gawai, dan batasan-batasan tak kasat mata yang dipasang oleh sistem: kejar target, lembur, dan pencitraan depan media.
Sebaliknya, para petani yang hidup di lereng gunung, atau nelayan yang menatap laut luas tiap pagi, seolah memiliki stok waktu tak terbatas. Mereka bisa duduk diam menunggu musim, membaca arah angin, mendengar pertanda dari cerahnya langit. Ruang mereka memuai bersama alam, maka waktu mereka pun seolah meregang, longgar, dan lapang.
Tapi mungkin juga, ini bukan soal fisika semata. Waktu yang melengkung adalah juga tentang kesadaran. Ruang adalah cermin dari batin: saat pikiran sempit, waktu ikut terperangkap. Saat hati lapang, waktu pun menjadi luas. Bukankah kita semua pernah merasa sehari bisa terasa satu jam, dan satu jam bisa terasa seabad?
Maka, ketika saya kembali mengingat lamunan absurd itu—bahwa waktu mengerut ketika ruang menyempit—saya sadar, saya tidak sedang bicara tentang alam semesta. Saya sedang bicara tentang diri saya sendiri. Tentang betapa mudahnya saya membatasi ruang dengan ketakutan, prasangka, dan pikiran buruk. Tentang betapa kerap saya melupakan bahwa waktu bisa diregangkan, bukan dengan menunda, tapi dengan mengendapkan fokus.
Waktu tidaklah lurus. Ia bisa melengkung, memutar, dan bahkan kembali. Tapi hanya bagi mereka yang menyediakan ruang. Ruang untuk menyepi dan konsentrasi. Ruang untuk memberi maaf pada kesalahan yang dilakukan di masa lalu. Ruang untuk bernapas dengan lebih merdeka. Waktu adalah misteri sebuah manajemen hidup.


Comments

Popular posts from this blog

Tidak Semua Orang Dianugerahi Keajegan Berpikir. Karena Menjadi Pengendali Hari ini Pun Sudah Cukup

Si Kepik dan Separuh Sayapnya yang Patah

Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori