Fiksi, Tempat Nalar Istirahat Sejenak

Ada masa ketika saya sengaja tidak menjawab panggilan Mama. Bukan karena sedang protes ingin sesuatu tapi tidak dikabulkan, bukan pula karena tidak sayang pada beliau. Tapi karena saya sedang tenggelam dan konsentrasi di dunia lain, dunianya Samsun dan Devilito dalam cergam Tapak Sakti, atau sedang mendengarkan Goku ber-kamehameha melawan makhluk-makhluk aneh di semesta Dragon Ball. Dunia-dunia itu hidup di tangan saya, lewat halaman yang sudah pada kusut karena terlalu sering dibuka atau sobek karena rebutan sama kakak-kakak. Dan saya, anak perempuan kecil dengan kepala yang isinya penuh pertanyaan, memilih tinggal di dunia dongeng karena nyaman.
Saya tidak tahu persis kapan ketertarikan itu berubah menjadi kebutuhan. Mungkin ketika dunia nyata mulai terasa terlalu keras ritmenya, terlalu ribut suaranya. Saat itulah, saya larut membaca kisah fantasi sambil senyum-senyum cekikikan. Kembali menyelami dunia Trigan Empire karya Don Lawrence, sebuah kerajaan antariksa yang kompleks, penuh ketegangan moral, dan disajikan dengan ilustrasi yang nyaris seperti mimpi. Trigo, Janno, Brag, dan Perik mengajarkan banyak hal lewat konflik, yang saat itu mungkin saja terlalu kompleks buat anak SD kelas 2. 
Atau saya larut menonton episode serial KungFu, mengikuti langkah tenang Kwai Chang Caine menyusuri dunia yang tak pernah benar-benar ramah padanya.
Ada yang mengira bahwa menyukai fiksi, apalagi komik dan cerita laga lama, adalah bentuk eskapisme. Seolah itu pelarian dari tanggung jawab, dari rasionalitas. Tapi bagi saya, justru sebaliknya. Fiksi tidak melemahkan nalar, ia menyelamatkannya. Ia memberi jarak, ruang sunyi, dan cara baru untuk melihat sesuatu dengan lebih jernih dan kadang… jenaka.
Dalam dunia yang makin terpolarisasi dan keras kepala dengan kebenarannya masing-masing, fiksi mengajarkan bahwa kebenaran bisa hadir dalam banyak bentuk. Bahwa musuh bisa punya alasan, dan pahlawan pun bisa salah langkah. Ia membiasakan kita pada ambiguitas, sekaligus menawarkan harapan dan solusi.
Ada pepatah lama yang bunyinya kira-kira begini: "Dalam dongeng, kita tidak belajar bahwa naga itu ada. Kita belajar bahwa naga bisa dikalahkan." Saya percaya itu. Dalam cerita fiksi, saya tidak kehilangan pegangan pada kenyataan, justru saya belajar menapakinya dengan lebih hati-hati.
Saya adalah bagian dari dunia-dunia fantasi itu. Dan setiap kali saya membuka kembali sebuah cerita lama, saya bukan sedang mundur ke masa lalu. Saya sedang merawat sesuatu yang esensial: kemampuan untuk membayangkan, memahami, dan percaya. Mendedah nilai, yang semakin bertambah umur, keterhubungannya semakin rumit tapi tetap relevan. Saya melihat kebijaksanaan Trigo dengan cara yang berbeda saat ini, dan itu tetap menyenangkan.
Dan bagi saya, membaca dongeng fantasi adalah cara paling waras untuk tetap hidup di dunia yang kerap terlalu berisik dan semua merasa paling benar. Tak ada lagi santai dan menghela napas sejenak, lalu cekikikan kemudian. Orang berjalan terlalu cepat, bahkan kerap berlari tanpa tahu alasannya kenapa. Jika dunia masih menawarkan semua yang serbacepat, saya akan menunggu sambil ber-kamehameha di ruang meditasi sunyi di dalam kepala.


Comments

Popular posts from this blog

Tidak Semua Orang Dianugerahi Keajegan Berpikir. Karena Menjadi Pengendali Hari ini Pun Sudah Cukup

Si Kepik dan Separuh Sayapnya yang Patah

Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori