Ketika Lo Adalah Orang Paling Nggak Asyik di Tongkrongan

Semua orang mungkin pernah mengalami, satu fase dalam hidup, ketika nongkrong menjadi sebuah kewajiban sosial. Bersama kawan hangout berjam-jam di kafe, ngobrol ngalor ngidul, bahas apa pun dari politik sampai film, dari gosip pertemanan sampai ngobrolin mantan. Semua terlihat happy, larut,  betah berlama-lama sampai kafe itu tutup. Semua, tapi tidak dengan saya. Baru satu jam duduk, rasanya hati mulai gelisah. Pikiran mulai berat dan lari kemana-mana, bukan karena obrolannya terlalu serius, tapi karena saat itu otak saya terus berputar. Pikiran melakukan banyak repetisi dan observasi, tanpa pernah disengaja.

Inilah awal muasalnya. Rasanya, saya tidak pernah menjadi seorang anti-sosial, Otak ini memang terkondisikan cepat lelah. Dan ternyata, bukan fisik saya yang lelah, melainkan mental saya yang kehabisan daya untuk bersosialisasi.

Saya yakin tidak cuma saya yang diciptakan, bersama otak yang bekerja dengan kecepatan dan kedalaman yang kadang tidak selaras dengan ritme sosial. Otak ini seperti menganalisis setiap ucapan dari berbagai orang, membaca isyarat tubuh manusia lain, menafsir makna dari obrolan paling remeh sampai yang paling berat. Bahkan membayangkan kemungkinan dari percakapan yang belum terjadi. Semuanya berlangsung tanpa bisa saya rem. Inilah yang dinamakan ‘overthinking’.

Kelelahan sosial yang sering kali tak terlihat, saat pikiran tidak diberi ruang untuk beristirahat. Ini terjadi bukan karena saya tak suka berteman, tapi karena sistem di dalam kepala bekerja terlalu keras untuk hal-hal yang bagi orang lain mungkin terasa biasa saja. Ketika ini terjadi berulang, satu-satunya cara bertahan adalah dengan mundur.

Dan ya, saya jadi orang pertama yang pamit dari tongkrongan. Selalu begitu.

Awalnya, seringkali ini membuat saya kerap merasa bersalah. Khawatir dianggap tidak menghargai pertemanan. Tapi semakin saya memaksakan diri hadir, semakin saya merasa tersiksa. Saya hadir secara fisik, tapi lelah secara batin. Saya ikut tertawa, tapi dengan pikiran yang sudah pergi ke tempat lain, dan berputar kadang dengan kecepatan yang membuat lelah luar biasa.

Di titik itulah saya mulai mempelajari mindfulness. Bukan dalam bentuk meditasi berat atau rutinitas spiritual yang kompleks, tapi sebagai latihan kecil untuk mengenali diri sendiri. Tentang kapan harus berhenti, kapan harus bernapas sejenak, dan kapan harus jujur pada kebutuhan mental.

Mindfulness membantu saya menyadari, bahwa fokus adalah sebuah sumber daya yang harus dilatih. Dan seperti baterai, ia harus diisi ulang, bukan dipaksa menyala terus-menerus. Saat saya mulai merasa tidak mampu mendengarkan dengan utuh, bukan berarti saya tidak peduli—saya hanya sedang kehabisan ruang untuk merespons dunia luar.

Bagi sebagian orang, “self-care” berarti memanjakan diri atau berlibur. Bagi saya, self-care berarti menyisihkan waktu untuk melatih fokus dan mengambil jeda. Duduk diam, menjauh dari kebisingan, dan membiarkan pikiran saya berhenti, agar mencoba untuk tak harus memahami segalanya. Karena tak semua penting untuk saya pikirkan.

Itulah mengapa saya tak lagi merasa perlu membela diri saat dibilang “nggak asyik”. Karena saya tahu, menjaga kejernihan pikiran jauh lebih penting daripada menjaga citra sosial. Bukan karena saya tidak ingin terhubung, tapi karena saya ingin benar-benar hadir saat dihubungi.

Dan kadang, satu jam keheningan bisa lebih menyembuhkan dibanding tiga jam percakapan yang membuat saya merasa terpaksa hadir.

Jadi jika kamu juga merasa cepat lelah di tengah keramaian, jika kamu butuh waktu untuk pulih setelah berbicara terlalu lama, mungkin bukan karena kamu orang aneh. Mungkin kamu cuma punya pikiran, yang butuh lebih banyak ruang untuk bernapas.

Menjadi orang yang tidak selalu ada, bukan berarti tidak peduli. Itu bisa jadi bentuk kepedulian paling jujur utama, pada diri sendiri, dan pada orang-orang yang kamu temui dengan kesadaran penuh.

Dan kalau itu membuatmu terlihat "nggak asyik" di tongkrongan? Biarkan saja. Kita memang tidak dilahirkan untuk selalu menghibur semua orang.

Comments

Popular posts from this blog

Tidak Semua Orang Dianugerahi Keajegan Berpikir. Karena Menjadi Pengendali Hari ini Pun Sudah Cukup

Si Kepik dan Separuh Sayapnya yang Patah

Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori