Ketika "Seadanya" dan "Sewajarnya" Menjadi Sebuah Kemewahan.
Di sebuah dunia yang terus-menerus menuntut lebih, hidup seadanya dan bertindak sewajarnya terdengar seperti bentuk kepasrahan. Kata itu, dulu begitu akrab di bibir Ibu dan kakek-nenek kita—penuh kebijaksanaan dan penerimaan—kini rasanya terdengar asing, bahkan kadang dianggap lelucon. Seolah-olah hidup itu harus selalu dalam mode percepatan, dikamuflase dengan filter, dan divalidasi oleh likes dan pujian eksternal. Padahal, dalam diam dan kesederhanaan, tersembunyi kemewahan yang tak bisa dibeli.
Filsuf Stoik seperti Epiktetos pernah berkata bahwa manusia tak bisa mengendalikan apa yang datang dari luar, hanya bisa mengatur sikap terhadapnya. Hidup seadanya bukan berarti menyerah, melainkan menyesuaikan diri dengan kenyataan tanpa kehilangan martabat. Sementara bersikap sewajarnya bukan berarti tidak berambisi, tapi tahu batas antara cukup dan rakus, antara kebutuhan dan hasrat yang dibentuk ilusi sosial.
Di kota-kota besar yang bergerak cepat, orang yang makan dengan tenang di warung kecil dan pulang ke rumah kontrakan mungil bisa jadi lebih damai dibanding mereka yang sibuk mengejar portofolio karier. Rumah-rumah kini harus estetik, tubuh harus langsing tapi berotot, dan hubungan harus Instagrammable. Menjadi biasa saja terasa menakutkan, seperti tidak punya pencapaian apa-apa. Padahal, hidup tidak dirancang untuk menjadi panggung validasi orang lain.
Kita hidup di era di mana ketulusan kalah oleh kemasan, dan “apa adanya” harus bersaing dengan “sebagus mungkin”. Tak heran jika bersikap sewajarnya menjadi bentuk radikalisme sepi tanpa tepuk tangan: tidak membesar-besarkan, tidak mengecilkan. Menjadi manusia biasa saja kini butuh keberanian.
Tapi sesekali, jika kita duduk di depan meja kerja, membiarkan waktu lewat tanpa sibuk menaklukkannya, kita mungkin mulai ingat: bahwa hidup tidak harus selalu ramai agar dianggap bermakna. Bahwa diam, cukup, dan sederhana bukan kemunduran—melainkan pilihan sadar untuk tidak terseret derasnya arus absurditas.
Maka, barangkali sekarang, saat paling mewah adalah ketika kita bisa berkata, “Saya cukup.” Bukan karena tak punya pilihan lain, tapi karena tahu bahwa dalam seadanya, tersimpan ketenangan. Dan dalam sewajarnya, menyiratkan kebebasan.
Comments
Post a Comment