Menjadi Ingatan
Saya selalu iri pada orang-orang yang mudah sekali lupa. Mereka tampak seperti makhluk yang telah selesai dengan masa lalunya, seperti roh-roh ringan yang tidak diganggu oleh jejak apa pun. Mereka hidup dalam saat ini—dan hanya saat ini. Tapi saya, saya terjebak dalam tumpukan peristiwa, percakapan, nama-nama yang telah dilupakan.
Hegel menulis bahwa kesadaran diri lahir melalui pengakuan—recognition—dan bahwa sejarah adalah proses Roh (Geist) mengenali dirinya sendiri melalui konflik, luka, dan sintesis. Dalam dunia yang dipenuhi orang-orang lupa, bagaimana saya bisa menjadi subjek penuh, bila memori dari yang lain lenyap bersama daya ingat mereka? Bagaimana saya bisa menyusun makna, bila fragmen masa lalu saya dianggap tidak penting—atau lebih buruk lagi: mengganggu?
Saya mengingat kalimat yang diucapkan dengan enteng tiga tahun lalu, tapi orang menganggap saya mengingat-ingat kesalahan. Saya menyebut ulang janji orang lain yang diucapkan, dan saya dianggap menyimpan dendam. Saya mempertanyakan perubahan sikap, dan saya diberi label “pemarah.” Tapi sungguh, saya hanya mengingat. Dan barangkali itu dosa saya: terlalu setia pada ingatan yang dengan mudah orang lain lupakan.
Sementara mereka yang melupakan berjalan ringan. Di dunia yang dikuasai oleh logika materialisme—yang menghitung waktu dengan produktivitas dan relasi dengan manfaat—lupa adalah komoditas laris. Pelupa tampak lebih bijak, karena tidak rewel. Lebih sehat, karena tidak baper. Lebih dewasa, karena tidak ribet.
Padahal, dalam dialektika Hegelian, lupa yang terlalu dini adalah pemutusan proses. Kesadaran tidak tumbuh dari pelarian, melainkan dari keberanian menatap luka. Yang tak ingin mengingat, juga tak ingin berubah. Karena ingatan membawa antitesis. Dan tanpa antitesis, tak ada sintesis. Tak ada becoming. Yang tinggal hanyalah pengulangan tanpa refleksi.
Saya sering bertanya: apa benar saya ini pemarah? Atau saya hanya terlalu sering melihat pengalaman lama yang mereka tolak untuk akui? Apa saya benar-benar rumit? Atau saya hanya tidak bisa ikut dalam sikap hidup sosial belakangan ini—di mana yang terakhir bicara adalah yang paling benar, dan yang mudah mengingat dianggap mengganggu ketenangan kolektif?
Saya tahu, dalam paradigma dunia hari ini, saya seperti koleksi catatan kaki dalam buku yang ingin dibaca cepat. Tapi saya tidak bisa membuang catatan-catatan itu, karena di sanalah saya menemukan hubungan antara satu bab dengan bab lainnya—antara saya dulu dan saya hari ini.
Karena seperti kata Hegel, sejarah bukanlah sekadar apa yang terjadi, tapi proses kesadaran Roh mengenali dirinya sendiri. Maka ingatan, bahkan yang menyakitkan, adalah bagian dari menjadi. Dan mungkin itu kutukan buat saya sekaligus berkahnya: saya sedang menjadi, sementara yang lain hanya ingin selesai.
Comments
Post a Comment