Nikolai Gogol: Tertawalah, menertawakan Kesatiran


Ada semacam privilese yang aneh dalam ‘tertawa’ saat dunia sedang menghadapi cobaan berat. Bukan karena ledakan cobaan itu tak terasa, melainkan karena tubuh ini rasanya sudah terlalu lama berada di tengah cobaan yang amat menyiksa, dan satu-satunya yang tersisa untuk dilakukan adalah: menertawakannya. Di titik ini, saya membaca banyak karya Nikolai Gogol.

Gogol tidak pernah menulis untuk membuat pembacanya merasa nyaman. Ia menulis untuk menyingkap absurditas yang menyaru sebagai sebuah tatanan, menelanjangi hal-hal yang membuat manusia merasa paling bermoral. Ia menulis tentang orang-orang kecil yang hidupnya lebih sering menjadi catatan pinggir dalam sejarah besar: Akaky Akakievich dengan mantelnya, atau Kovalyov dengan hidungnya yang kabur lalu naik jabatan, absurd bukan? 

Semua tokoh-tokoh yang dicipta Gogol bukan pahlawan, bukan pemberontak, bukan filsuf. Mereka adalah kita — orang-orang biasa yang mencoba masuk akal di dunia yang sama sekali tidak masuk akal.

Namun, yang membuat Gogol menonjol bukanlah absurditas semata, melainkan keberaniannya untuk menghadapi absurditas itu tanpa ingin terlihat paling paham akan makna. Dalam dunia Gogol, tatanan sosial adalah lelucon panjang yang tak lucu, dan birokrasi adalah labirin yang tak pernah ada ujungnya. Gogol tidak sinis dan satire seperti lelucon-lelucon SNL. Ia cuma tertawa. Dan tawa itu bukan penolakan terhadap realitas, tapi pengakuan akan keterbatasan manusia dalam menghadapinya. Ia memilih tertawa, ketika dunia terasa sesak.

Realita hidup kita hari ini —dengan kebisingan media sosial, pencitraan, dan penindasan kemanusiaan yang terus bersalin rupa —tidak jauh berbeda dari dunianya Gogol saat itu. Bahkan mungkin buat dia lebih menyedihkan, karena kita percaya bahwa kenyataan di dunia semu bisa diubah dengan opini. Kita mengira bahwa segala hal bisa dibereskan dengan narasi yang kuat, padahal seperti dalam cerita Gogol, seringkali yang kuat justru narasi itu sendiri —bukan kenyataannya.

Ketika membaca The Overcoat, saya teringat pada Sartre yang menulis tentang keengganan untuk “dilahirkan ke dunia yang tak kita minta.” Gogol mendahuluinya malah, dengan caranya sendiri —ia tidak berseru, tidak berteriak, hanya menunjukkan. Ia menyodorkan dunia apa adanya, lalu menutup cerita dengan tawa dan tangis bersamaan. Inilah humor yang filosofis: bukan cuma hiburan semata, tapi juga bagaimana kita bergumul dengan hidup yang makin absurd.

Barangkali, kita bisa jadi seperti yang diam-diam diajarkan Gogol, kehidupan tidak perlu ditafsirkan sedemikian rupa agar masuk akal. Karena justru upaya kita untuk mencari rasionalitas mutlak itulah yang membuat kita gila. Gogol seperti ingin berkata: hiduplah, bahkan jika dunia ini menolakmu hidup dengan wajar. Bahkan jika sistem, struktur, dan segala “tata krama sosial” hanya akan menciptakan lubang-lubang baru di jalan yang tak pernah bisa lurus.
Dan dalam lubang itulah, kita tertawa. Bukan karena kita tidak peduli, tapi karena kita sudah terlalu paham.



Comments

Popular posts from this blog

Tidak Semua Orang Dianugerahi Keajegan Berpikir. Karena Menjadi Pengendali Hari ini Pun Sudah Cukup

Si Kepik dan Separuh Sayapnya yang Patah

Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori