Oposisi Biner

Hidup berjalan sesuai mekanismenya, bergulir tanpa skenario yang dibuat-buat, meski kadang kita sibuk merancang strategi agar semua berjalan sempurna. Tapi, apalah menjadi sempurna tanpa bersikap jujur apa adanya. Bahkan hati kecil tidak bisa dibohongi. 

Tadi malam, saya mendapat kabar buruk, kalau naskah saya kembali ditolak di sebuah lomba kepenulisan bergengsi. Sementara paginya, saya harus mengisi kelas menulis. Kadang, saat begini itu, imposter syndrome kembali merajai pikiran, memerintahkan otak agar menyabotase mood sepanjang hari. Tapi hujan turun sejak fajar tiba, gerimis tidak berhenti-berhenti. Saya percaya, rintik hujan menghantarkan do’a yang mustajab. Maka seharian tadi, setiap berkah kesungguhan dalam memberikan ilmu dan manfaat melewati proses yang lancar dan menyenangkan. Saya percaya bahwa alam semesta menyimpan cara kerjanya sendiri, sebuah keteraturan tersembunyi yang tak selalu bisa diterjemahkan oleh nalar yang sedang kesal atau hati yang dirundung kecewa. Tapi justru di situlah hidup bekerja: dalam oposisi biner yang tidak mutlak, melainkan saling menyempurnakan. Kesedihan, dalam skala yang kita terima, seringkali adalah tanah subur bagi kebahagiaan yang lebih tulus. Ia menguji bukan hanya batas sabar, tetapi juga keikhlasan untuk tetap berjalan tanpa pamrih.

Sepahit apa pun kabar penolakan itu, saya melihat bagaimana keesokan paginya berjalan sebaliknya: lancar, tenang, dan penuh sambutan hangat dari para peserta. Bukankah itu juga bagian dari kebahagiaan? Bukan dalam bentuk pengakuan formal atau piala, melainkan dalam kenyataan bahwa saya tetap bisa memberi, tetap bisa berdampak, dan yang lebih penting lagi, tetap bisa hadir utuh di tengah orang lain. Memberikan kebermanfaatan, yang bagi saya mungkin biasa-biasa saja, tapi nyatanya untuk orang lain begitu berharga.

Seringkali kita mengukur pencapaian dengan tolak ukur tunggal: menang atau kalah, diterima atau ditolak. Padahal, hidup tidak mengenal satu kutub saja. Ada sisi lain yang terus menyeimbangkan. Maka, mungkin benar bahwa segala kesedihan dibekali kebahagiaan sebagai gantinya, bukan sebagai imbalan, melainkan sebagai penyeimbang. Seperti siang yang tidak akan ada artinya tanpa malam, atau seperti tulisan yang tak pernah kuat tanpa revisi.

Maka saya belajar, bahwa menjadi manusia berarti berani menerima dua kutub sekaligus: kecewa dan bersyukur, gagal dan tumbuh. Karena dalam oposisi biner itulah, hidup menemukan ritmenya. Dan kita, sebagai penulis dan pembelajar, akan selalu punya ruang untuk tumbuh, bahkan ruang untuk rapuh.






Comments

Popular posts from this blog

Tidak Semua Orang Dianugerahi Keajegan Berpikir. Karena Menjadi Pengendali Hari ini Pun Sudah Cukup

Si Kepik dan Separuh Sayapnya yang Patah

Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori