Raden Mandasia dan Borges


“Menulislah, agar hidupmu tak seperti hewan ternak, sekadar makan dan tidur sebelum disembelih.”
– Loki Tua, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi

Memandangi gawai, yang terlalu bising dengan arus komunikasi tak nyaman.
Saya melarikan diri, ke kisah Raden Mandasia lagi. Tapi malah jadi ingat sama Jorge Luis Borges.
Ada hari-hari ketika saya merasa kosong. Seperti kehilangan bentuk. Tidak tahu lagi apa yang bisa saya tawarkan ke dunia, selain kelelahan dan kekhawatiran yang terus tumbuh. Rasanya seperti hidup hanya untuk bertahan, bukan untuk benar-benar hidup.

Tapi satu hal yang masih bisa saya lakukan adalah menulis. Tidak besar. Tidak penting. Tidak mengubah apa pun. Tapi tetap menulis. Dalam diam. Dalam sunyi. Dalam sepi yang tidak ramai-ramai dibagikan.

Saya teringat Perpustakaan Babel milik Borges—perpustakaan yang tak berujung, tempat semua kemungkinan tertulis, bahkan kemungkinan tentang saya yang tidak punya apa-apa tapi tetap menulis satu baris di malam hari.

Borges mencintai buku seperti seseorang mencintai rumah yang tak pernah sepenuhnya ditinggalkan. Saya mengerti itu sekarang. Karena saat dunia di luar terlalu bising atau terlalu sunyi, saya juga kembali ke tulisan. Bukan karena saya yakin pada maknanya, tapi karena saya butuh tempat untuk menggantungkan diri.

Saya tidak sedang menulis untuk didengar. Saya hanya ingin tahu bahwa saya masih ada. Bahwa saya belum menyerah menjadi manusia. Menulis, buat saya, adalah cara sederhana untuk menolak jadi seperti ternak, yang ramai-ramai mengekor.

Selamat malam, Borges.
Di dunia yang terasa sempit ini, saya masih menulis. Dan barangkali, itu cukup.

Comments

Popular posts from this blog

Tidak Semua Orang Dianugerahi Keajegan Berpikir. Karena Menjadi Pengendali Hari ini Pun Sudah Cukup

Si Kepik dan Separuh Sayapnya yang Patah

Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori