Ujian Bisa Jadi, Cara Allah Merindukanmu
Belakangan ini saya sering merenung: mungkinkah cobaan dalam hidup bukan semata bentuk peringatan, melainkan tanda bahwa Allah sedang rindu? Bukan rindu seperti yang kita pahami dalam relasi antar manusia—bukan pula kerinduan yang mudah diterjemahkan menjadi ritual-ritual formal. Lebih dari itu, rindu dalam bentuk yang diam-diam mengetuk: lewat kehilangan, lewat kegagalan, lewat ketidakpastian yang mendadak membuat hidup terasa rapuh.
Dalam tradisi filsafat Islam, pemaknaan terhadap ujian tidak selalu dikaitkan dengan hukuman. Ibn ‘Arabi menulis tentang tajalli, sebuah konsep penampakan Allah dalam segala bentuk eksistensi. Allah hadir, kata Ibn ‘Arabi, tidak hanya dalam keindahan dan kelapangan, tetapi juga dalam kegelapan, keterbatasan, dan keterpurukan.
Melalui tajalli, kita diajak untuk menyadari bahwa kehidupan yang kita jalani sehari-hari, dengan segala suka dan dukanya, bisa jadi adalah cara Allah menunggu rintihan dan tangismu, bersujud di sepertiga malam.
Saya teringat juga pada pemikiran Al-Ghazali, yang menyatakan bahwa cinta kepada Allah sering kali tumbuh bukan dari kelapangan, melainkan dari kehancuran ego. Ketika hidup berjalan mulus, kita mudah larut dalam perasaan mampu dan cukup. Namun saat hidup goyah, kita dipaksa untuk menengok ke dalam: mengakui keterbatasan, mempertanyakan arah, dan pada akhirnya mencari pegangan yang lebih hakiki.
Saya tidak sedang mengglorifikasi penderitaan. Banyak ujian hidup yang terlalu berat untuk ditafsir secara spiritual dalam waktu yang singkat. Tapi saya percaya bahwa di tengah rasa lelah atau perasaan ditinggalkan, ada celah kecil yang bisa kita maknai sebagai panggilan.
Sebab dalam keterbatasan itu, kita cenderung kembali—bukan karena terpaksa, tetapi karena akhirnya kita sadar bahwa kekuatan kita ada batasnya.
Dalam sunyi, saya sering merasa doa yang paling jujur justru muncul. Ketika segala hal yang saya andalkan tidak lagi memberi kepastian, saat itulah hati lebih terbuka untuk mendengar. Mungkin itulah sebabnya, dalam satu fragmen hidup yang sulit, saya merasa justru lebih dekat dengan Tuhan—bukan karena saya menjadi lebih saleh, tetapi karena saya lebih sering mengakui bahwa saya lemah.
Comments
Post a Comment