I’ve Mastered The Art of Bouncing Back
Sudah tahun ke-5 sejak era mental detox yang saya jalani. Sudah tahun ke-5 sejak saya kembali dari ruang kontemplasi sunyi, bernama isolasi. Orang seringkali percaya bahwa diam adalah bentuk kekalahan. Bahwa ketika memilih berhenti menulis (sementara), adalah takluk oleh rasa malas dan patah semangat, tak mampu bersaing dengan tempo dunia yang makin perkasa mempertontonkan pencapaiannya. Tapi tidak, kali ini saya tak peduli. Saya berhenti karena tahu, memaksakan diri adalah menyetir diri ini, entah menuju kemana.
Saya tahu betul bagaimana rasanya menulis fiksi dengan kepala yang kosong dan hati yang tak di sana, oleh semacam ambisi samar yang memaksa agar cepat selesai ditunaikan. Bukan semata-mata karena mencintai dunia menulis.
Maka saya rehat. Bukan karena menyerah, tapi karena paham. Ini bukan tentang produktivitas, bukan pula tentang writer’s block yang disalahkan seperti kambing hitam yang terlalu sering dibunuh demi menyelamatkan reputasi kreator.
Saya rehat karena ada kekuatan dalam menunda. Karena tidak semua gerak harus terus maju. Ada pula gerak yang mundur satu langkah agar bisa melompat lebih jauh. Bukankah pegas bekerja seperti itu?
Tentu, ada yang akan mencibir, “Oh, jadi kamu mengalah?” Tapi pertanyaan itu lucu. Kekalahan, dalam dunia ini, terlalu sering dimaknai semata dari intensitas berkarya. Padahal, bahkan diam pun bisa menjadi bentuk paling kuat dari perlawanan. Saya diam bukan karena kosong, tapi karena sedang mengendapkan. Menyaring kembali antara mana yang benar-benar ingin saya tulis, dan mana yang selama ini hanya lahir dari kecemasan tak mau tertinggal.
Ada orang yang meyakini bahwa istirahat adalah dosa dalam dunia kreatif. Mereka menyembah ‘konsistensi’ seperti dogma. Sehari tak menulis, maka kamu seorang murtad dalam dunia kreatif. Dua hari tak posting, maka algoritma akan lupa sama kamu. Tapi saya kira, justru dengan tak menulis fiksi untuk sementara, saya sedang menjaga otak imajinasi saya agar tidak tandus karena ditanami terus-menerus tanpa pupuk bernama jeda.
Saya sedang memelihara kekosongan. Menyukai senyap yang tidak perlu tergesa-gesa. Karena dalam senyap itulah, ruang ide terasa penuh oleh daya ungkit. Tajam, tapi lebih punya nurani untuk berhenti dulu. Seperti api kecil yang kelak sanggup menyalakan nyala yang jauh lebih besar.
Saya tidak sedang breakdown—saya sedang bounce back. Kembali ke titik asal di mana menulis fiksi adalah cinta, bukan beban. Saya tidak ingin menjadi penulis yang kehilangan hasrat, tapi tetap memproduksi demi target. Saya tidak sedang mogok, saya sedang memilih waktu tanam yang tepat. Jadi, jangan tanya kapan saya akan kembali menulis fiksi. Karena bahkan diam saya pun sedang bekerja. Dan bukankah itu seni paling halus dari perlawanan—menang, tanpa harus selalu muncul dan berkarya?
Comments
Post a Comment