Keberanian untuk Bicara, Kesediaan untuk Mendengar


Beberapa waktu lalu, seorang teman datang menemui. Bukan dalam suasana serius dengan obrolan ringan yang biasanya mengisi percakapan sehari-hari. Ia datang dengan sikap sederhana, namun memiliki keberanian yang luar biasa: ia ingin berbicara tentang kondisi mentalnya.

Di tengah dunia yang sering kali menempatkan kesehatan jiwa sebagai stigma, atau cukup disampaikan dalam bisik malu-malu, keberanian teman saya ini terasa seperti cahaya kecil di sebuah lorong gelap yang konservatif. Ia tidak menyembunyikan rasa cemasnya di balik obrolan basa-basi. Ia tidak sugar coating, hidupnya yang saat itu sedang terpuruk dengan bahasa-bahasa yang dikamuflase. Ia memilih untuk bicara lugas: “saya tidak baik-baik saja”, dan bahwa beban itu sudah terlalu berat untuk ia pikul sendirian.

Saya cuma bisa menyimak, dan memeluknya dengan sikap mendengarkan tanpa menyela. Bukan karena saya tidak tahu harus berucap apa, tapi karena saya tahu: di hadapan saya duduk seseorang yang sedang mempertaruhkan martabatnya di dunia yang sering kali keliru memahami luka batin, sebagai sikap lemah atau kalah.

Hidup dalam masyarakat kolektif kita, yang gemar merayakan ketangguhan tetapi susah menerima kesedihan, tindakan kecil seperti berbicara jujur tentang kondisi kejiwaan bisa menjadi sangat revolusioner. Ia sudah bisa melangkah keluar dari stigma, dari tudingan orang yang selama ini membungkam banyak sekali realitas gangguan psikologis. Dan saya merasa terhormat telah dipilih sebagai tempat pertama untuk bersandar.

Banyak orang beranggapan bahwa keberanian selalu tampak dalam bentuk heroik—bicara lantang dan berani menentang kebijakan, perubahan besar dalam pencapaian, atau keputusan drastis dalam kehidupan. Namun, saya percaya, keberanian-keberanian kecil semodel teman saya ini, justru lahir dari tindakan yang sangat personal: mengakui keterbatasan diri, dan meminta waktu sejenak untuk didengar.

Momen itu membuat saya merenung, bahwa sebagai manusia, kita sesungguhnya tidak diciptakan untuk selalu kuat. Kita harus bisa untuk saling menguatkan. Dan bahwa pengakuan yang jujur tentang keterbatasan diri, meskipun caranya dengan bicara berbisik, bisa menjadi langkah menuju pemulihan. Ada filsuf yang bilang kalau keberanian bukanlah ketiadaan ketakutan, melainkan kemampuan untuk tetap melangkah di tengah ketakutan itu. Teman saya alhamdulillah, sudah melakukan itu.

Ia datang bukan untuk mengubah dunia dii sekitarnya, tetapi dia memilih untuk tidak larut dan tenggelam di dalamnya. Dan mungkin, dalam tindakan sederhana itu, ia sudah memberikan pelajaran paling penting yang bisa saya terima momen itu: bahwa berbicara adalah langkah awal dari penyembuhan, dan mendengar adalah bentuk kasih sayang paling renik yang dimiliki makhluk berakal dan bernurani.

Dan saat seseorang dianugerahi keberanian untuk bicara jujur tentang keterbatasan diri, niscaya kita juga dilimpahkan kemampuan untuk ikhlas mendengarkan tanpa menyela. Maka, 970 juta hingga 1,1 miliar orang di seluruh dunia yang mengalami gangguan mental, akan sangat bersyukur memiliki support system yang solid. Semoga.

Comments

Popular posts from this blog

Tidak Semua Orang Dianugerahi Keajegan Berpikir. Karena Menjadi Pengendali Hari ini Pun Sudah Cukup

Si Kepik dan Separuh Sayapnya yang Patah

Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori