11:11

Jam digitalku di meja mencilap kerlip. 11:11.

Aku terpekur lama, bukan… bukan angka itu yang membuatku takjub, tapi ribuan kali yang harus aku lewati setiap jam segini, dan terbangun karena angka membuat aku tergemap lama. Kini, seakan dua garis sama itu sedang menatap balik—dua pasang lurus, kurus tirus, tapi juga terasa amat intim, seperti sepasang pintu yang terbuka ke suatu portal yang asing buatku.

Aku terbangun tanpa tahu pukul berapa aku mulai tidur, ribuan kali begini. Tidak ada mimpi yang bisa kuingat, hanya rasa berat di dada, sumuk di udara, dan kelam di kepala. Seperti habis diseret dari palung paling dalam di Samudera Hindia. Lalu di sanalah aku melihatnya, tepat di atas meja, sebuah buku usang tergolek seperti minta dibuka. Sampul kulit sapi, bukan jenis yang mahal. Baunya lembap seperti pernah disimpan di laci yang jarang sekali dibuka. Dan dari ingatanku yang paling pendek pun, aku tahu, kalau buku itu bukan milikku. 

Jari jemariku berdenyut merenyut mengikuti pola mengular, entah kenapa, seolah takut untuk menyentuhnya. Rasanya benda ini tak asing, seperti datang dari dalam kenangan. Seperti memegang kembali benda yang pernah lama hilang. Saat membuka kertas usangnya, pada halaman pertama yang terbuka, kupindai berbaris bait puisi. Tulisan tangan, tidak rapi, tidak indah, apalagi menghanyutkan. Namun mataku tergoda mengikuti coretannya:

"Kita hanyalah angka yang saling mencari,
kadang berpapasan di jam yang sama,
kadang saling hilang dalam riuh pusaran.
Tapi jika kamu temukan aku antara 11:11,
berjanjilah untuk percaya,
bahwa kita pernah ditakdirkan saling ada."

Aku membacanya tiga kali. Tak ada nama penulis. Tak ada tanggal. Tapi di pojok kanan atas halaman, ada bekas lipatan, seperti seseorang dengan sengaja menandai halamannya.

Aku duduk. Menatap jam lagi, masih dengan gemap yang sama. Kali ini bebanku perlahan mengurai, tak terpintal lagi seperti benang kusut menggelung. 

Masih 11:11. Angka itu tak bergeser, seolah macet di sana, memaku waktu, menyimpan memori. Aku mendengar bunyi detik jam dinding—tik, tik, tik—tapi jarumnya bahkan tak bergerak.

Apakah aku sedang bermimpi? Atau justru baru saja terbangun dari tidur panjang?

Ini mungkin apophenia, kecenderungan otak mencari pola di balik kebetulan. Aku tahu soal itu, karena otakku selalu mencari alasan di balik fenomena. Orang melihat wajah Yesus di roti bakar, atau merasa semesta sedang mengirim pesan lewat angka. Tapi mengapa aku merasa puisi itu memang ditulis untukku?

Aku membalik halaman lain. Isinya kosong. Kertas putih, seperti menunggu untuk diisi. Buku itu berat, seakan memuat ratusan halaman, tapi hanya halaman pertama yang terisi. Sisanya hanya sunyi.

Aku kembali membacanya, sebuah puisi di atas kertas usang yang lagi-lagi membuat beban di dadaku berangsur terangkat. Kata-katanya menggema seperti lagu lautan di ujung Pasifik Selatan. "Jika kamu temukan aku di antara 11:11…"

Aku menutup buku itu. Lanjur, menunggu lampu mencilap kembali, dan ketika kubuka, tulisan di halaman kosong mulai terisi. Garis-garis tinta telah muncul perlahan, membentuk kalimat baru:

"Aku menunggumu menulis balasan."

Jari jemariku gemetar, buku itu bernapas, puisi itu sanggup berpikir. Jam digital masih 11:11. Lalu, dunia bahkan tak berani bergerak. Momentum ini tersimpan penuh keajaiban.

Sampai aku sadar sesuatu: mungkin ini bukan tentang angka. Mungkin ini adalah tentang siapa yang menuliskannya, dan mengapa ia memilih aku untuk menemukannya.

Aku mengambil pena. Di halaman kosong yang kini menantiku, aku menulis: "Aku sudah menemukanmu. Tapi siapa sebenarnya yang sedang berbicara di sini?"

Begitu tinta terakhir mengering, jam digital kembali hidup. 11:12. Detik berjalan normal. Lampu berhenti berkelip.

Tapi aku tahu, sejak saat itu, hidupku tidak lagi sama. Karena di dalam buku harian baruku, aku sudah membuka pintu ke sebuah percakapan, yang bisa jadi tidak akan pernah berakhir.


Comments

Popular posts from this blog

Tidak Semua Orang Dianugerahi Keajegan Berpikir. Karena Menjadi Pengendali Hari ini Pun Sudah Cukup

Si Kepik dan Separuh Sayapnya yang Patah

Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori