Dalam Wajah Biner

Dalam hidup, yang segala sesuatu selalu terbagi menjadi dua dan bertolak belakang, Embun mencoba bertahan. Ia merasa dunia menyambutnya dengan hangat dan penuh harapan. Senyum orang asing bisa terasa seperti undangan masuk ke dalam sebuah kenyamanan. Pujian dan harapan bisa menjelma serupa janji setia. Dalam detik-detik itu, ia merasa utuh, dicintai tanpa syarat.

Namun, tiba-tiba saja, detik berikutnya, semua runtuh. Senyum berubah sinis, tatapan berubah menjadi pengkhianatan. Ia yang meyakini kalau semua kasih sayang itu berubah palsu, muslihat yang menjebaknya agar kembali terpuruk. Dunia menyalakan cahaya untuknya lalu meninggalkannya dalam gelap gelita, di sudut antah berantah.
“Kenapa kalian meninggalkanku?” serunya suatu malam di kamar sendiri. Tapi kamar itu menggemakan suara-suara lirih: mereka tidak pernah benar-benar ada, hanya bayangan yang ia ciptakan. 
"Kamu layak sendiri, temanmu cuma sepi, dan jelaga di kepalamu yang akan menelanmu mati."

Di kepalanya, cinta selalu datang dengan dua wajah. Satu topeng yang begitu lembut dan mersik, menaruhnya di altar kehidupan seakan ia adalah pusat semesta. Topeng berikutnya memandangnya dengan sorot kejam, menendangnya jatuh ke jurang, seolah ia sampah tak berguna. Dua wajah itu datang silih berganti, kadang dalam satu jam, kadang cuma dalam hitungan detik.
Embun terjebak dalam labirin tak berkesudahan, sebuah lorong tanpa ujung yang selalu membelah dirinya menjadi sepasang. Semangat, lanjur terpuruk sesaat kemudian.

Di sudut taman kota malam itu, ia bertemu sosok lelaki tinggi dengan wajah bercahaya. Lelaki yang meyakinkannya kalau, “Aku mencintai kamu, aku akan tinggal dan loyal pada yang kamu miliki.” Kata-kata itu bagai dandelion yang ia jaga, agar tak buyar tertiup angin. Dunia seolah membuka jalannya. Bumi rasanya seperti menurunkan wangi loka dari suarga.

Namun Embun sudah tahu, bahwa dalam sekejap, wajah lelaki itu akan merecah menjadi serpih topeng yang berjatuhan ke tanah. Dari baliknya muncul wajah lain—dingin, asing, tak punya rasa apalagi kasih. “Aku benci sama kamu, aku ingin pergi dan menjauh dari hidupmu,” katanya.
Embun hanya bisa menggelung kesakitan, ia tak sanggup berlari, ia hanya mencoba meraih. Karena setiap langkah hanya memperjauh jaraknya. Ia tahu wajah itu mungkin ilusi, tapi rasa sakitnya sungguh nyata, mengiris lebih tajam dari beling centang perenang di balik cermin.

Lalu, di tepi sungai ia berbicara pada bayangan serupa wajahnya.
 “Aku hadir dalam serpihan yang retak-retak. Aku keras. Aku kosong. Tak ada yang bisa tahan hidup denganku.”

Bayangan itu menjawab dengan suara tak sama, dalam bentuk yang serupa. Kamu bukan kosong. Kamu hanya berlebihan. Kamu bukan tak layak. Kamu hanya takut ditinggalkan.

Air beriak, seakan ikut bicara: Dua wajahmu adalah jalan kehidupan. Ia adalah perang antara rasa ingin dicintai dan rasa takut untuk ditolak. Kamu hanya berdiri di medan tempur itu.

Embun pun diam, dalam hening yang menghadirkan jalinan logika dan nalar. Jalan kehidupan mungkin tidak sepenuhnya menolaknya; mungkin, dunia hanya kebingungan membaca gelombang yang selalu berubah di dalam dirinya.

Ia menutup mata, membiarkan suara-suara itu mereda. Tubuhnya masih bergetar, tapi kali ini ada sedikit ruang yang memeluknya dengan selain luka.

Dalam kegelapan, ia meraih udara, menghirupnya sebanyak yang ia bisa. Jika aku bisa bertahan. Kalau tidak bisa seumur hidup, maka cukup satu malam lagi. Satu langkah lagi. Satu helaan napas lagi.
Dan entah bagaimana, ruang itu terasa lebih nyata dibanding semua wajah yang datang dan pergi silih berganti.


Comments

Popular posts from this blog

Tidak Semua Orang Dianugerahi Keajegan Berpikir. Karena Menjadi Pengendali Hari ini Pun Sudah Cukup

Si Kepik dan Separuh Sayapnya yang Patah

Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori