“Persik Si Sapi Sapioseksual”
Bagi Persik Si Sapi, tubuh cuma kendaraan sementara. Fungsinya jelas: membawa pikiran ke tempat-tempat yang lebih jauh daripada kaki sanggup melangkah. Masalahnya, sebagian besar sapi berpikir begitu, dan sudah menjadi sebuah kesepakatan kolektif para sapi dan gembalanya, kalau pencapaian lahir dari bentuk tanduk yang simetris atau pola hitam putih di tubuh tambun yang presisi itu adalah segalanya. Persik Si Sapi tahu, kalau itu cuma tipuan biologi, hanya bagian dari strategi seleksi alam yang bekerja tanpa peduli pada hukum permintaan masyarakat gembala.
Sapioseksualitas ia yakini, bukan cuma sebagai pilihan, tapi sebagai konsekuensi berpikir. Ia tidak bisa memaksakan diri tertarik pada yang indah secara visual tapi kosong secara mental dan spiritual. Satu saja narasi cerdas terucap dari sebuah ruang dialektika, bisa membuat detak jantung mamalia miliknya, berdetak lebih cepat daripada barisan parade sapi jantan memamerkan kekuatan otot mereka.
Ia mengingat jelas pertemuan dengan Si Lembu Kopi. Seekor sapi jantan dengan tubuh biasa saja, bahkan agak timpang kalau berjalan. Tapi ketika Si Lembu Kopi membicarakan mengapa rumput hijau tidak sekadar warna, melainkan panjang gelombang cahaya 495–570 nanometer yang dipantulkan ke retina, Persik Si Sapi merasakan ada percikan di batinnya yang kerontang. Mereka berbicara tentang manfaat ekosistem sapi terhadap lingkungan, tentang metana yang mereka hasilkan, tentang kemungkinan sapi suatu hari bisa menulis sejarahnya sendiri.
Percakapan itu adalah bukti bahwa keintiman tidak selalu memerlukan sentuhan seksuil, tidak mendamba bentuk estetis, bahkan tidak membutuhkan ruang-ruang validasi. Ada jarak ratusan meter menjeda mereka, tapi pikiran keduanya sudah saling terkoneksi, tanpa saling bersentuhan. Karena Persik dan Lembu Kopi, hanya makhluk-makhluk sapioseksual yang kebetulan sudah dikebiri.
Persik Si Sapi meyakini, bahwa cinta sejati adalah tarikan antara dua kesadaran. Tubuh akan menua, produktivitas susu akan mengendur, kulit akan keriput dimakan waktu. Tetapi pikiran yang jernih dan tajam melesat bak komet heli, bahkan setelah mereka disembelih.
Sapioseksualitas, bagi Persik Si Sapi dan Lembu Kopi, bukan sekadar soal pilihan hidup. Ia adalah sebuah keputusan eksistensial, untuk memilih mencintai sesuatu yang bisa tumbuh seiring waktu, bukan sesuatu yang pudar seiring waktu. Karena kecerdasan yang diasah kian tajam, akan melebihi bentuk estetika sebongkah tubuh. Dan ketertarikan pada kecerdasan berarti menerima bahwa cinta sejati adalah dialog dua nalar yang terus mencari jawaban akan ragam pertanyaan.
Besok pagi, ketika embun melekat di helai rumput, Persik akan berjalan pelan melewati sapi-sapi yang sibuk memperbaiki posisi tubuh mereka di pantulan air, mematutkan diri mencari posisi andalan. Ia akan mencari hal lain, yang berani membuka pikirannya, bukan hanya mempertontonkan tubuhnya belaka. Sebab bagi Persik Si Sapi Sapioseksual, hanya pikiran yang dibentuk benar-benar telanjang dan sanggup bekerja dengan nyalang.
Comments
Post a Comment