SENI MENJADI SI LUCU

Sebuah tata cara menjadi si paling komedi.
Kamu hanya perlu mengatakan iya
pada banyak orang,
lalu diam-diam kamu belajar
mengubur lukamu sendiri
di lubang yang tak ada pusaranya, tak ada namanya.

Menjadi orang baik itu mudah.
Kamu hanya perlu tertawa dan melucu
sedikit lebih cerdas daripada semua orang,
agar mereka tidak tahu
kalau kamu pun sedang hancur perlahan-lahan.

Menjadi orang baik itu cukup semringah.
Kamu akan sering disebut bak malaikat
oleh orang-orang yang bahkan
tak tahu di mana tempat tinggalmu.
Kamu akan diundang ke semua keriaan,
yang tak punya kursi kosong untukmu, saat kamu sudah lelah berdiri.

Menjadi orang baik itu menguntungkan.
Bukan untukmu,
tapi untuk semua orang yang tahu
kamu pantang berkata: tidak.

Aku telah menjadi payung
yang menunggu hujan di ubun-ubun orang lain,
gelas kosong yang menunggu diisi
tapi selalu diberikan pada orang baru,
dan bohlam sorot yang dielu-elukan
karena mampu menerangi,
meski tak ada satu pun
yang bertanya berapa kali aku hampir padam.

Mereka bilang aku kuat.
Itu hanya kata lain dari:
“Kami tahu kamu tidak akan membalas,
meski kami biarkan kamu sendirian
dengan kepalamu yang penuh gemuruh.”

Menjadi sebongkah meranti, mungkin lebih jujur
daripada menjadi manusia, yang
tidak tersenyum palsu,
tidak merangkul saat bahumu sendiri sedang gemetar hebat,
tidak hadir pada ramai
yang tak pernah mengundangmu untuk sekadar duduk istirahat.

Lucunya,
aku masih di sini,
tertawa paling keras, melucu paling cerdas, bicara paling lugas.
Berdiri paling depan,
memberikan yang tersisa dari tubuhku
untuk menutup lubang-lubang di hidup orang lain.

Sebab jika aku berhenti,
mungkin aku membiarkan diriku mati.
Dan dalam kamus kematian,
“berhenti” berarti “memenangkan ego diri”.

Menjadi si lucu itu mudah.
Yang sulit adalah mengingat
kapan terakhir kali
aku juga menghibur diriku sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Tidak Semua Orang Dianugerahi Keajegan Berpikir. Karena Menjadi Pengendali Hari ini Pun Sudah Cukup

Si Kepik dan Separuh Sayapnya yang Patah

Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori