Manusia Rimpang

Ia yang tumbuh menyuruk tersembunyi. Tertanam dan tersimpan, karena tubuh liatnya menyulur di bawah tanah. Dari ketersembunyian itulah ia menjalar, mengikat tanah, menyimpan cadangan makanan, dan menjaga keberlanjutan hidup. Rimpang adalah gudang kekuatan yang bekerja dalam senyap: tidak terlihat, tetapi selalu hadir, selalu siap melahirkan tunas baru.

Hiduplah menyerupa rimpang. Tak selalu tegak di atas permukaan, tidak selalu berbunga, tidak selalu tampak lebat mengundang sorai. Rimpang yang hidup berdiam di kedalaman, menyimpan energi, menyembuhkan luka, sambil menunggu musim yang lebih ramah pada pertumbuhannya. Dan pada saat itu tiba, rimpang mampu menumbuhkan tunas kehidupan yang baru, lebih kuat menggeliat.

Siklus sering tidak berkelindan linear. Ada musim ketika segala ruang terasa sempit, udara terisap habis, suara terbungkam sunyi, dan harapan pun kian ranggas. Tetapi rimpang mengajarkan bahwa bertahan tidak harus terlihat dan menarik perhatian. Ia menyimpan kekuatan di dalam, sabar menunggu. Manusia menyerupa rimpang, menyimpan cadangan dalam diri, berupa pengetahuan, ingatan, iman, dan solidaritas, agar tidak runtuh di tengah tekanan dan hantaman.

Kekuatan yang tersimpan itu tak tampak, tetapi menolong kala hari-hari kian gelap. Keberlanjutan, rupanya lebih ditentukan oleh kesabaran dalam menyimpan, ketimbang kecepatan dalam menampilkan ingar bingar.

Rimpang adalah obat. Serupa jahe, kunyit, temulawak, kencur yang bekerja dalam diam. Ia merasuk masuk ke dalam tubuh, memperbaiki yang rusak. Menyembuhkan dengan sederhana, pelan, tetapi nyata.

Luka, baik karena kehilangan, ancaman, hantaman dan desakan—tidak selalu segera sembuh. Luka membutuhkan waktu, dan persistensi. Sebuah keberanian untuk merawat diri jauh dari sorot pandang banyak netra. Penyembuhan, layaknya rimpang, ia sudah punya keberpihakan, yaitu pada kemanusiaan. Justru karena itulah, daya juangnya akan bertahan lebih lama.

Potonglah sebuah rimpang, maka ia tidak akan mati. Dari tubuh yang terbelah, tunas baru justru tumbuh. Tidak ada akhir bagi rimpang, hanya bentuk kehidupan yang terus berlanjut.

Manusia serupa rimpang, berkali-kali dipatahkan—oleh kehilangan, oleh kegagalan, oleh ketertindasan. Namun berkali-kali pula ia menemukan cara untuk tumbuh kembali. Dari luka lahir kesadaran, dari reruntuhan lahir generasi baru. Represi hanya memotong permukaan, tetapi tidak mampu mencabut akar.

Kita hidup di dunia yang sibuk menampilkan bunga-bunga warna-warni, harum dan subur menyerupai plastik. Hidup dalam sunyi yang sendiri, sering dianggap kekalahan. Rimpang mengingatkan kita, bahwa kehidupan tidak selalu perlu ditunjukkan. Ada kekuatan yang justru lahir dari ketersembunyian, dari kemampuan menjaga diri di kedalaman.

Manusia serupa rimpang tahu, bahwa tidak semua nyanyian harus ribut berdegam-degam. Ada cadangan yang lebih aman bila dijaga, ada luka yang hanya bisa pulih dalam diam, ada harapan yang lebih subur bila tumbuh di bawah tanah sebelum muncul ke permukaan.

Rimpang yang menjalar. Dipatahkan, tetapi selalu mampu menumbuhkan kehidupan baru. 

Mungkin inilah kebijaksanaan yang kita perlukan di tengah represi, yang tumbuh mengakar dengan kuatnya, berkelindan dengan liatnya. Serupa rimpang, kita bertahan sesaat dalam gelap, hingga menyembulkan tunas ke permukaan. Yang kuat, yang liat, Dan menjalar kemana-mana.

Comments

Popular posts from this blog

Tidak Semua Orang Dianugerahi Keajegan Berpikir. Karena Menjadi Pengendali Hari ini Pun Sudah Cukup

Si Kepik dan Separuh Sayapnya yang Patah

Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori