Sebuah Pelajaran Berharga dari Calmness 101
Curhat colongan ini didapat tadi malam, tentang jejaring, sikap, dan ketenangan yang lebih efektif daripada mengimani keramaian.
Ada satu pertanyaan yang mampir kepada saya kemarin: “Kamu kan kenal sama dia, kok cuek? Kok, kayak nggak kenal?”
Pertanyaan ini, walau tampak sederhana, sebenarnya mencerminkan logika sosial yang mendominasi zaman kita: bahwa kedekatan harus selalu ditunjukkan, bahwa jejaring lebih penting daripada sikap, dan bahwa perhatian harus diproduksi secara terus-menerus agar eksistensi tidak dipertanyakan.
Di dunia yang serba bising ini, sikap cuek mudah dicap sebagai sikap lemah sebagai makhluk sosial. Padahal, bila kita mengintip wacana psikologi populer, justru sikap yang konsisten lebih menentukan kualitas hidup dibandingkan seberapa luas jejaring yang kita miliki. Daniel Goleman misalnya, melalui konsep emotional intelligence, menekankan pentingnya self-regulation dan calmness, sebuah terminologi ketenangan dalam merespons orang lain. Seseorang yang mampu menjaga ketenangan di tengah hiruk pikuk, lebih dipercaya daripada mereka yang sekadar pandai menyapa banyak orang.
Sayangnya, masyarakat hari ini terjebak pada paradoks: mereka mengagungkan networking sebagai jalan menuju keberhasilan, tetapi sering melupakan bahwa jaringan hanyalah pintu masuk. Yang menentukan apakah kita akan dihargai di dalam ruangan adalah sikap. Adagium modern yang sering diunggah orang dengan latar belakang foto pemandangan: your attitude speaks louder than your network. Tidak sekadar kalimat motivasi, melainkan kebenaran yang sederhana namun tidak populer.
Di titik ini, gagasan upgrade yourself in silence menjadi semakin relevan. Kesendirian bukanlah kekosongan, melainkan sikap batin yang lebih memilih tenang. Seseorang yang membangun dirinya dalam diam sedang menolak panggung validasi, dan memilih fondasi integritas. Dalam filsafat eksistensial, Kierkegaard menyebut kerumunan sebagai “abstraksi” yang melenyapkan individu. Maka, memilih diam dan cuek bisa jadi bukan kelemahan, melainkan bentuk perlawanan terhadap ilusi kolektif yang sibuk menilai dari penampilan luar.
Namun di sinilah letak satir kehidupan modern: orang-orang sibuk menampilkan diri seolah calmness bisa dibeli lewat paket wellness retreat atau diunduh lewat aplikasi kssehatan mental. Mereka membicarakan tenang dengan tergesa-gesa, seakan-akan ketenangan hanyalah aksesori. Padahal, ketenangan sejati tidak lahir dari diskusi yang dihadiri orang banyak, melainkan dari kesediaan untuk berhenti mengejar pengakuan.
Maka, ketika ada yang bertanya “kok cuek?”, jawaban yang paling tepat, sekaligus jujur mungkin adalah: saya sedang berlatih calmness dengan cara yang paling sederhana, yaitu tidak memaksakan diri untuk selalu terlibat. Cuek bukan berarti menutup pintu, melainkan menjaga agar energi sosial tidak terbuang sia-sia. Jejaring bisa memperkenalkan kita, tetapi hanya sikap yang konsisten, lahir dari ketenangan, yang akan meninggalkan jejak abadi.
Dengan demikian, sikap cuek dapat dibaca bukan sebagai penolakan, tetapi sebagai bentuk self-respect. Dalam diam, seseorang bisa membangun diri. Dalam tenang, seseorang bisa menjaga integritas. Dan dalam keheningan, seseorang bisa tetap berdiri tegak tanpa perlu bergantung pada riuhnya jejaring, kenal dengan banyak orang. Kesana kemari berduyun-duyun.
Barangkali itulah ironi zaman ini: dalam dunia yang semakin gaduh oleh sorakan, justru mereka yang memilih diamlah yang sedang melakukan pembaruan paling serius. Upgrade yourself in silence bukan sekadar slogan, melainkan strategi eksistensial. Dan calmness adalah modal utama yang menjadikan sikap, betapapun sederhana, bahkan jika terlihat “cuek” lebih lantang berbicara daripada jaringan sebesar apa pun. Itulah sikap.
Comments
Post a Comment