Posts

Merayakan Kabut

Image
Merasa berbeda sejak kecil, mungkin sudah jadi bawaan—yang lagi-lagi dilegitimasi oleh orang-orang terdekat. Apalagi dirayakan oleh hal paling administratif dalam hidup: punya nama Foggy, yang tercatat resmi di akte kelahiran. Bukan nama panggilan. Bukan nama pena. Nama resmi yang kemudian dipanggil dan dicatat oleh dokter, bank, sekolah, hingga lembar ijazah. Anak lain diberi nama yang puitis, saya diberi nama fenomena alam. Tidak sophisticated, seperti senja, pelangi, embun atau langit. Cukup ekstrim, karena fenomena alam saya berupa KABUT. Di sekolah dasar, saya sudah terbiasa mendengar mereka mengulang nama saya, setiap kali absensi dibacakan. Guru mengulang beberapa kali, bahkan di antaranya ada yang membuatnya jadi candaan. “Foggy… guk… guk… guk…” Nama itu kemudian jadi semacam latihan detoks pertama saya, dari keinginan jadi seragam. Menerima bahwa perbedaan saya bukan sesuatu yang akan terjadi nanti setelah dewasa atau setelah punya pacar, tetapi sesuatu yang sudah ...

dari perspektif subaltern

serupa batu yang diajari mengapung oleh deras aliran sungai—aku diam, seperti mengalir, tapi tak berhenti menjadi goresan luka. tak biasa merengek, tak biasa meminta belas kasihan dari langit yang punya kuasa atas cahaya. setiap kali jatuh, aku sudah tahu bagaimana caranya untuk bangun, bukan karena kuat, tapi karena tak ada pilihan lain selain terus menanggung undak berundak di atas bahuku. aku pernah mengulurkan tangan padamu, bukan memohon untuk diselamatkan, tapi untuk menegakkan yang runtuh dari dirimu. kamu memegangnya, erat dalam menggenggam, sekaligus juga memijak, persis di bahuku. menginjaknya seperti titian, agar bisa lebih tinggi berdiri dari tubuhku.  aku yang membatu, hanya diam menatap dari bawah, melihat betapa megahnya kamu bicara tentang kebebasan di atas pundakku. membatu dalam bisu, karena diam adalah bentuk paling aman dari perlawanan di dunia yang memuja begitu banyak wibawa. tapi diamku adalah batu; ia menggores pelan, membuat retakan-retakan yang sanggup mel...

Surat Untuk Anak-Anak Perempuanku

Image
Anak-anakku , Kelak kalian akan tumbuh, berjalan ke dunia yang luas dan keras, tempat suara-suara orang lain seringkali lebih kencang dari isi pikiranmu sendiri.  Dunia yang kadang membuat perempuan merasa kecil, seolah keberadaannya harus disesuaikan dengan ukuran yang sudah ditentukan—tentang bagaimana ia harus bicara, berpakaian, mencintai, bahkan bermimpi. Aku menulis surat ini agar kalian tak lupa: kalian boleh menjadi apa saja, siapa saja, selama itu adalah pilihan kalian sendiri. Jadilah dirimu yang utuh. Jangan hancur hanya karena seseorang berkata kamu terlalu pembangkang, terlalu berani, atau terlalu mandiri. Dunia akan mencoba menaklukkan kalian dengan lembut: lewat pujian yang meninabobokan, atau lewat cinta yang pelan-pelan meminta kalian untuk mengecil. Tapi ingatlah, keberanian untuk menjadi diri sendiri adalah bentuk cinta yang paling sejati—cinta pada hidup, pada perempuan yang kamu lihat setiap pagi di cermin. Hidupi mimpi-mimpimu, Nak. Jangan tunggu o...

Sebuah Pelajaran Berharga dari Calmness 101

Image
Curhat colongan ini didapat tadi malam, tentang jejaring, sikap, dan ketenangan yang lebih efektif daripada mengimani keramaian. Ada satu pertanyaan yang mampir kepada saya kemarin: “Kamu kan kenal sama dia, kok cuek? Kok, kayak nggak kenal?” Pertanyaan ini, walau tampak sederhana, sebenarnya mencerminkan logika sosial yang mendominasi zaman kita: bahwa kedekatan harus selalu ditunjukkan, bahwa jejaring lebih penting daripada sikap, dan bahwa perhatian harus diproduksi secara terus-menerus agar eksistensi tidak dipertanyakan. Di dunia yang serba bising ini, sikap cuek mudah dicap sebagai sikap lemah sebagai makhluk sosial. Padahal, bila kita mengintip wacana psikologi populer, justru sikap yang konsisten lebih menentukan kualitas hidup dibandingkan seberapa luas jejaring yang kita miliki. Daniel Goleman misalnya, melalui konsep emotional intelligence, menekankan pentingnya self-regulation dan calmness, sebuah terminologi ketenangan dalam merespons orang lain. Seseorang yang...

Dalam Wajah Biner

Image
Dalam hidup, yang segala sesuatu selalu terbagi menjadi dua dan bertolak belakang, Embun mencoba bertahan. Ia merasa dunia menyambutnya dengan hangat dan penuh harapan. Senyum orang asing bisa terasa seperti undangan masuk ke dalam sebuah kenyamanan. Pujian dan harapan bisa menjelma serupa janji setia. Dalam detik-detik itu, ia merasa utuh, dicintai tanpa syarat. Namun, tiba-tiba saja, detik berikutnya, semua runtuh. Senyum berubah sinis, tatapan berubah menjadi pengkhianatan. Ia yang meyakini kalau semua kasih sayang itu berubah palsu, muslihat yang menjebaknya agar kembali terpuruk. Dunia menyalakan cahaya untuknya lalu meninggalkannya dalam gelap gelita, di sudut antah berantah. “Kenapa kalian meninggalkanku?” serunya suatu malam di kamar sendiri. Tapi kamar itu menggemakan suara-suara lirih: mereka tidak pernah benar-benar ada, hanya bayangan yang ia ciptakan.  "Kamu layak sendiri, temanmu cuma sepi, dan jelaga di kepalamu yang akan menelanmu mati." Di kepalan...

Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori

Image
Saya tumbuh dari seorang Papa, ia tidak membaca literatur feminisme atau pemberdayaan perempuan whatsoever, tidak juga mengutip Simone de Beauvoir di dinding seperti kamar saya, atau beli buku bell hooks, atau baca Fatima Mernissi, apalagi mengikuti perdebatan soal bias gender di forum-forum dialektik. Namun, ia menanamkan pada saya satu hal yang jauh lebih membekas, yaitu keberanian jadi manusia berdikari, let's say it… being a lonewolf. Dari kecil, ia mendorong saya untuk bertanya, menantang jawaban, dan melihat dunia dari berbagai sudut. Ia mengoleh-olehi buku-buku, majalah elektro dan komputer (meski ini agak aneh untuk ukuran gadis kecil), komik wayang, novel sains, dan yang paling luar biasa musik-musik dunia yang ajaib untuk telinga saya saat itu. Ia mengajak berdiskusi di meja makan, meski topiknya terlalu “serius” untuk ukuran bocah perempuan. Bagi Papa, saya adalah manusia sebelum saya adalah perempuan. Dan dari situ, tanpa sadar, ia membesarkan saya menjadi s...

Si Kepik dan Separuh Sayapnya yang Patah

Image
Kepik itu pernah jatuh cinta pada selembar daun muda. Ia percaya daun itu rumah, lindap, dan setia. Sampai suatu hari, daun itu ranggas, bukan karena kemarau, tapi karena tangkainya diam-diam rela dipotong ulat demi keselamatannya. Kepik itu jatuh, karena daun kering tak punya daya untuk bertahan. Sejak itu ia tahu, kalau semesta hijau ini seringkali membusuk dari dalam. Ia tinggal di negeri para peragu, bagaimana serangga takut terbang karena khawatir ditangkap belalang, bunga tak berani mekar karena khawatir dihinggapi kupu-kupu. Di sini, mengalah adalah sebuah cara untuk bertahan lebih lama. Semua diajari menunduk, bahkan pada bayangan sendiri. Kepik mengalah pada semut yang menjarah asupannya, pada kumbang yang meremukkan separuh sayapnya, dan pada waktu yang mencuri mentari sebelum tubuhnya bisa menghangat. Kepik punya mimpi besar melintasi sungai, setengah sayapnya memantulkan cahaya seperti mentari yang berbinar-binar. Tapi suatu malam, mimpi itu dibunuh bukan oleh t...