Posts

Surat Untuk Anak-Anak Perempuanku

Image
Anak-anakku , Kelak kalian akan tumbuh, berjalan ke dunia yang luas dan keras, tempat suara-suara orang lain seringkali lebih kencang dari isi pikiranmu sendiri.  Dunia yang kadang membuat perempuan merasa kecil, seolah keberadaannya harus disesuaikan dengan ukuran yang sudah ditentukan—tentang bagaimana ia harus bicara, berpakaian, mencintai, bahkan bermimpi. Aku menulis surat ini agar kalian tak lupa: kalian boleh menjadi apa saja, siapa saja, selama itu adalah pilihan kalian sendiri. Jadilah dirimu yang utuh. Jangan hancur hanya karena seseorang berkata kamu terlalu pembangkang, terlalu berani, atau terlalu mandiri. Dunia akan mencoba menaklukkan kalian dengan lembut: lewat pujian yang meninabobokan, atau lewat cinta yang pelan-pelan meminta kalian untuk mengecil. Tapi ingatlah, keberanian untuk menjadi diri sendiri adalah bentuk cinta yang paling sejati—cinta pada hidup, pada perempuan yang kamu lihat setiap pagi di cermin. Hidupi mimpi-mimpimu, Nak. Jangan tunggu o...

Sebuah Pelajaran Berharga dari Calmness 101

Image
Curhat colongan ini didapat tadi malam, tentang jejaring, sikap, dan ketenangan yang lebih efektif daripada mengimani keramaian. Ada satu pertanyaan yang mampir kepada saya kemarin: “Kamu kan kenal sama dia, kok cuek? Kok, kayak nggak kenal?” Pertanyaan ini, walau tampak sederhana, sebenarnya mencerminkan logika sosial yang mendominasi zaman kita: bahwa kedekatan harus selalu ditunjukkan, bahwa jejaring lebih penting daripada sikap, dan bahwa perhatian harus diproduksi secara terus-menerus agar eksistensi tidak dipertanyakan. Di dunia yang serba bising ini, sikap cuek mudah dicap sebagai sikap lemah sebagai makhluk sosial. Padahal, bila kita mengintip wacana psikologi populer, justru sikap yang konsisten lebih menentukan kualitas hidup dibandingkan seberapa luas jejaring yang kita miliki. Daniel Goleman misalnya, melalui konsep emotional intelligence, menekankan pentingnya self-regulation dan calmness, sebuah terminologi ketenangan dalam merespons orang lain. Seseorang yang...

Manusia Rimpang

Image
Ia yang tumbuh menyuruk tersembunyi. Tertanam dan tersimpan, karena tubuh liatnya menyulur di bawah tanah. Dari ketersembunyian itulah ia menjalar, mengikat tanah, menyimpan cadangan makanan, dan menjaga keberlanjutan hidup. Rimpang adalah gudang kekuatan yang bekerja dalam senyap: tidak terlihat, tetapi selalu hadir, selalu siap melahirkan tunas baru. Hiduplah menyerupa rimpang. Tak selalu tegak di atas permukaan, tidak selalu berbunga, tidak selalu tampak lebat mengundang sorai. Rimpang yang hidup berdiam di kedalaman, menyimpan energi, menyembuhkan luka, sambil menunggu musim yang lebih ramah pada pertumbuhannya. Dan pada saat itu tiba, rimpang mampu menumbuhkan tunas kehidupan yang baru, lebih kuat menggeliat. Siklus sering tidak berkelindan linear. Ada musim ketika segala ruang terasa sempit, udara terisap habis, suara terbungkam sunyi, dan harapan pun kian ranggas. Tetapi rimpang mengajarkan bahwa bertahan tidak harus terlihat dan menarik perhatian. Ia menyimpan kekua...

Dalam Wajah Biner

Image
Dalam hidup, yang segala sesuatu selalu terbagi menjadi dua dan bertolak belakang, Embun mencoba bertahan. Ia merasa dunia menyambutnya dengan hangat dan penuh harapan. Senyum orang asing bisa terasa seperti undangan masuk ke dalam sebuah kenyamanan. Pujian dan harapan bisa menjelma serupa janji setia. Dalam detik-detik itu, ia merasa utuh, dicintai tanpa syarat. Namun, tiba-tiba saja, detik berikutnya, semua runtuh. Senyum berubah sinis, tatapan berubah menjadi pengkhianatan. Ia yang meyakini kalau semua kasih sayang itu berubah palsu, muslihat yang menjebaknya agar kembali terpuruk. Dunia menyalakan cahaya untuknya lalu meninggalkannya dalam gelap gelita, di sudut antah berantah. “Kenapa kalian meninggalkanku?” serunya suatu malam di kamar sendiri. Tapi kamar itu menggemakan suara-suara lirih: mereka tidak pernah benar-benar ada, hanya bayangan yang ia ciptakan.  "Kamu layak sendiri, temanmu cuma sepi, dan jelaga di kepalamu yang akan menelanmu mati." Di kepalan...

11:11

Image
Jam digitalku di meja mencilap kerlip. 11:11. Aku terpekur lama, bukan… bukan angka itu yang membuatku takjub, tapi ribuan kali yang harus aku lewati setiap jam segini, dan terbangun karena angka membuat aku tergemap lama. Kini, seakan dua garis sama itu sedang menatap balik—dua pasang lurus, kurus tirus, tapi juga terasa amat intim, seperti sepasang pintu yang terbuka ke suatu portal yang asing buatku. Aku terbangun tanpa tahu pukul berapa aku mulai tidur, ribuan kali begini. Tidak ada mimpi yang bisa kuingat, hanya rasa berat di dada, sumuk di udara, dan kelam di kepala. Seperti habis diseret dari palung paling dalam di Samudera Hindia. Lalu di sanalah aku melihatnya, tepat di atas meja, sebuah buku usang tergolek seperti minta dibuka. Sampul kulit sapi, bukan jenis yang mahal. Baunya lembap seperti pernah disimpan di laci yang jarang sekali dibuka. Dan dari ingatanku yang paling pendek pun, aku tahu, kalau buku itu bukan milikku.  Jari jemariku berdenyut merenyut men...

Dua Bapak, Dua Dunia, Tiga Leksikal Gustatori

Image
Saya tumbuh dari seorang Papa, ia tidak membaca literatur feminisme atau pemberdayaan perempuan whatsoever, tidak juga mengutip Simone de Beauvoir di dinding seperti kamar saya, atau beli buku bell hooks, atau baca Fatima Mernissi, apalagi mengikuti perdebatan soal bias gender di forum-forum dialektik. Namun, ia menanamkan pada saya satu hal yang jauh lebih membekas, yaitu keberanian jadi manusia berdikari, let's say it… being a lonewolf. Dari kecil, ia mendorong saya untuk bertanya, menantang jawaban, dan melihat dunia dari berbagai sudut. Ia mengoleh-olehi buku-buku, majalah elektro dan komputer (meski ini agak aneh untuk ukuran gadis kecil), komik wayang, novel sains, dan yang paling luar biasa musik-musik dunia yang ajaib untuk telinga saya saat itu. Ia mengajak berdiskusi di meja makan, meski topiknya terlalu “serius” untuk ukuran bocah perempuan. Bagi Papa, saya adalah manusia sebelum saya adalah perempuan. Dan dari situ, tanpa sadar, ia membesarkan saya menjadi s...

“Persik Si Sapi Sapioseksual”

Image
Namanya Persik, ia seekor sapi yang lahir di kandang yang mengajarkan bahwa hidup bukan cuma urusan makan, tidur, dan bertahan sampai musim panen berikutnya. Mayoritas sapi di sana percaya bahwa tubuh gempal, perut penuh produksi susu, serta kecantikan tanduk dan kilap kulit adalah paspor menuju popularitas satu kandang. Tetapi Persik melihatnya sebagai sebuah kebetulan genetik, bagian dari probabilitas “yang biasa-biasa aja”, kamuflase yang tak ada hubungannya dengan kedalaman jiwa apalagi nalar yang kritis. Bagi Persik Si Sapi, tubuh cuma kendaraan sementara. Fungsinya jelas: membawa pikiran ke tempat-tempat yang lebih jauh daripada kaki sanggup melangkah. Masalahnya, sebagian besar sapi berpikir begitu, dan sudah menjadi sebuah kesepakatan kolektif para sapi dan gembalanya, kalau pencapaian lahir dari bentuk tanduk yang simetris atau pola hitam putih di tubuh tambun yang presisi itu adalah segalanya. Persik Si Sapi tahu, kalau itu cuma tipuan biologi, hanya bagian dari s...